IDI dan ARSSI minta evaluasi tarif INA CBGs



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah mengevaluasi tarif Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs). Pasalnya tarif tersebut berada di bawah standar saat ini.

Wakil Ketua Umum 3 IDI Prasetyo Widhi Buwono bilang tarif INA-CBGs yang ada saat ini dapat membebani fasilitas kesehatan. "Tarif INACBGs masih di bawah nilai keekonomian," ujar Prasetyo saat diskusi evaluasi kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Selasa (25/3).

Selain tarif INA-CBGs, Prasetyo juga mengungkapkan dana kapitasi yang diberikan pemerintah terlalu rendah. Oleh karena itu IDI meminta adanya kenaikan dana kapitasi.


Perbaikan tarif INA-CBGs dan dana kapitasi diminta untuk melibatkan pemangku kepentingan. Selain itu pemerintah juga perlu menyiapkan alternatif pembiayaan untuk menutupi selisih kenaikan. "Alternatif bisa urun biaya atau selisih biaya bila anggaran tidak mencukupi," terang Prasetyo.

Kenaikan INA-CBGs berdampak pada standar pelayanan rumah sakit. Bila tarif tersebut terlalu rendah, fasilitas kesehatan akan sulit melakukan kendali mutu. Hal serupa juga diungkapkan Asosiasi Rumah Sakit Swasta seluruh Indonesia (ARSSI). Wakil Ketua ARSSI Noor Arida Sofiana bilang tarif merupakan permasalahan inti.

"Inti permasalahan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di rumah sakit swasta kecukupan pembiayaan atau penetapan tarif," jelas Arida. Tarif INA-CBGs saat ini dinilai masih belum sesuai harapan RS swasta. Tarif INA-CBGs RS swasta pun hanya berbeda sedikit dengan RS pemerintah.

Selisih tarif INA-CBGs antara pihak RS swasta dengan pemerintah hanya sebesar 2% hingga 3%. Padahal RS swasta tidak mendapat subsidi seperti RS pemerintah.

Selain itu kecepatan dan ketepatan pembayaran, keberlangsungan pelayanan kepada peserta, dan alternatif pembiayaan juga menjadi masalah. Saat ini pembayaran biaya BPJS bisa menunggak selama 3 bulan hingga 4 bulan. "RS yang tidak bisa mengatur alur kas akan berpengaruh pada layanan," ungkap Arida.

Selain itu Arida juga mengeluhkan tingginya pajak bagi alat kesehatan. Tingginya pajak tersebut menyulitkan perkembangan alat kesehatan untuk memperbaiki layanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .