IESR Luncurkan Perangkat Simulasi Untuk Hitung Biaya Pembangkit Energi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan berjudul Making Energy Transition Succeed: A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia dan perangkat simulasi berbasis web yang dapat diakses oleh masyarakat untuk memperkirakan biaya pembangkitan energi untuk setiap teknologi pembangkitan dan penyimpanan energi. 

Perhitungan biaya pembangkitan ini dapat membantu para pembuat kebijakan, pengembang energi terbarukan, investor, dan masyarakat luas dalam merencanakan pembangunan energi terbarukan dan menentukan pilihan-pilihan teknologi energi yang lebih murah secara biaya, dengan emisi gas rumah kaca (GRK) yang rendah.

Analisis IESR menunjukkan harga pembangkit energi terbarukan semakin menurun dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya pembangkit rata-rata atawa levelized cost of electricity (LCOE) yang paling rendah yakni sebesar US$ 0,041 per kWh. Di posisi kedua dan ketiga terendah secara berturut adalah Pembangkit Listrik Mini/Mikro Hidro (PLMTH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) senilai US$ 0,049 per kWh, dan US$ 0,058 per kWh. 


Baca Juga: Pelaku Usaha Kesulitan Lantaran Pembatasan PLTS Atap, Begini Tanggapan PLN

Namun, penghitungan biaya pembangkitan ini tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek, sehingga akan ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas.

His Muhammad Bintang, Peneliti IESR yang juga merupakan penulis utama laporan menyatakan saat ini, iklim investasi pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan memang belum kondusif. Salah satu penyebabnya adalah disebabkan oleh sejumlah regulasi yang meningkatkan biaya tinggi. 

“Misalnya, untuk pengembangan PLTS skala utilitas, ada aturan TKDN yang mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri yang harga produknya masih lebih mahal dan kalah dari segi kualitas dari komponen impor,” kata dia dalam webinar, Jumat (24/3). 

Dengan lebih mahalnya harga komponen menyebabkan biaya investasi yang dibutuhkan meningkat. Sementara, tidak adanya jaminan mutu dan pemenuhan standar juga membuat pendanaan proyek lebih mahal, terutama dari luar negeri, menjadi sulit. 

Baca Juga: Hingga Maret 2023, Realisasi Pengadaan Pembangkit Energi Terbarukan PLN Capai 1,2 GW

Meskipun demikian, tren penurunan harga teknologi diperkirakan membuat pembangkit energi terbarukan lebih kompetitif dalam waktu dekat. PLTS, contohnya, proyeksi LCOE PLTS skala utilitas baru di tahun 2050 akan mencapai US$ 0,03 per kWh atau lebih rendah, jauh lebih murah dibandingkan biaya operasi PLTU batubara exsisting

Pada 2030an, kombinasi PLTS dan Batery Energy Storage System (BESS) akan semakin terjangkau dan kompetitif dibandingkan dengan listrik dari PLTU. Terlebih, pemerintah mulai mengimplementasikan aturan pengurangan emisi, misalnya lewat mekanisme carbon pricing dan pembatasan gas-gas buang yang dapat meningkatkan LCOE PLTU.  

Bintang menjelaskan lebih lanjut, kompetitifnya harga sistem penyimpanan energi tentu membantu pengembangan energi terbarukan. Salah satu tantangan pembangkit energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB adalah intermitensi yang membutuhkan integrator agar stabilitas sistem existing tetap terjaga. Sistem penyimpan energi inilah integrator yang paling populer karena fungsinya yang bervariasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati