IESR: Pelaksanaan JETP Harus Perhatikan Dampak Pensiun Dini PLTU



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah Pemerintah Indonesia membentuk sekretariat tim kerja Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership (JETP), ditargetkan 6 bulan ke depan sudah tersedia peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara dan rampungnya rencana investasi yang komprehensif atau Comprehensive Investment Plan (CIP). 

Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, seiring dengan akan berakhirnya pengoperasian PLTU batubara, pemerintah pun harus mulai mempersiapkan pengelolaan yang tepat sejumlah hal. 

Dimulai dari pengelolaan infrastruktur kelistrikan seperti jaringan dan penyimpan energi (storage), merencanakan diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batubara, dan memberikan pelatihan maupun insentif kepada para pekerja dan masyarakat yang terdampak dari penutupan PLTU. 


Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Pelabuhan Ratu Harapkan Dapat Pendanaan Murah

“Perencanaan transisi energi perlu memberikan arah yang jelas secara jangka panjang, sehingga dampak negatif dari transisi energi, misalnya kepada para pekerja di PLTU & rantai pasok (supply chain) batubara, pengurangan penerimaan daerah dan nasional dari batubara, dan lainnya sudah bisa teridentifikasi dengan jelas,” jelasnya Jumat (16/2). 

Menurutnya dari sinilah dapat disusun strategi dalam melakukan transformasi sosial dan ekonomi, seperti penyiapan lapangan pekerjaan baru, dan pelatihan skill yang sesuai untuk pekerja. 

IESR juga mendorong agar tim kerja JETP tidak hanya menyusun peta jalan pensiun dini PLTU batubara yang sekadar demi mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di JETP, namun lebih ambisius dengan menyelaraskan target tersebut dengan Persetujuan Paris. 

Baca Juga: Menteri ESDM: Implementasi Teknologi Carbon Capture (CCS/CCUS) Tidak Didanai JETP

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan JETP adalah kesempatan untuk mengakselerasi transisi energi dan menurunkan emisi GRK. Kepentingan Indonesia justru harus lebih jauh lagi yakni mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan memperkuat industri energi terbarukan. 

“Indonesia jangan ragu-ragu mengakselerasi transisi energi karena dengan ini kita dapat membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi,” ujarnya. 

IESR menghitung untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030 maka perlu dilakukan pengakhiran PLTU dan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada kurun waktu yang sama. 

Dalam analisis IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada sistem kelistrikan sebesar 34% pada 2030 sesuai target JETP, maka selain 20,9 GW proyek energi terbarukan yang sudah direncanakan di RUPTL 2021-2030, akan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. 

Baca Juga: Kementerian ESDM Bocorkan Program Transisi Energi yang Dapat Kucuran Dana JETP

Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan pemensiunan PLTU hingga 8,6 GW, sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga. 

Berkaca dari pencapaian bauran energi terbarukan Indonesia di energi primer yang hanya mencapai 12,3%, pemerintah harus mampu mengatasi hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan. Salah satunya memberikan dukungan kepada produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kemudian memperbaiki prosedur pengadaan atau lelang energi terbarukan dan mengalihkan subsidi fosil untuk sektor energi terbarukan dan meniadakan kebijakan DMO. 

“Dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh 300-500 MW per tahun,” ujar Fabby. Sedangkan kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai 26 GW lebih dalam 8 tahun ke depan atau sekitar 3-4 GW per tahun. 

Komitmen pendanaan yang besar dari JETP yang akan dituangkan dalam rencana investasi ini, hanya bisa direalisasikan jika hambatan investasi energi terbarukan seperti prosedur pengadaan di PLN, aturan TKDN untuk PLTS yang tidak sesuai dengan perkembangan industri dan subsidi harga batubara lewat kebijakan harga DMO dapat segera diselesaikan pada tahun ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati