KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga
think tank yang fokus isu energi, kelistrikan, dan perubahan iklim, mendorong pemerintah untuk mereformasi kebijakan ketenagalistrikan dan mengimplementasikan pendanaan
Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mengakselerasi transisi energi bersih di tanah air. IESR juga menilai pasar modal bisa menjadi salah satu alternatif bagi perusahaan energi terbarukan (
renewable energy) untuk memperoleh pendanaan dari investor.
Baca Juga: Pertemuan Prabowo - PM China Diprediksi Perkuat Kerja Sama RI-China 10 Tahun ke Depan Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia berawal dari air/hidro dan geotermal. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) membutuhkan investasi besar sehingga pada saat itu masih banyak dibiayai dari investasi asing. Akan tetapi, kini mulai berkembang pemanfaatan sumber energi terbarukan lainnya seperti biogas, biomassa, surya, dan bayu. Menurut Fabby, kini sudah banyak perusahaan dalam negeri yang mengembangkan pembangkit energi terbarukan terutama berskala kecil seperti surya, mikrohidro, minihidro, biogas, dan biomassa. Perusahaan dalam negeri juga melakukan investasi pembangkit energi terbarukan berskala besar seperti PLTP dan PLTA baik melalui pembiayaan perbankan maupun pasar modal.
Baca Juga: Kunjungan Presiden Prabowo ke China Diharapkan Perkuat Kerjasama Ekonomi Hijau "Ada range atau tingkatan yang berbeda-beda ketika bicara perusahaan energi terbarukan, dari sisi modal dan pendanaan serta dari sisi jenis maupun skala pembangkit yang dibangun. Untuk perusahaan dalam negeri sebetulnya juga sudah banyak yang menjadi pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP), ," tutur Fabby dalam keterangan resmi, Senin (11/11). Terkait dengan pendanaan energi terbarukan, IESR bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) telah memasukkan dalam 5 rekomendasi jangka pendek untuk percepatan transisi energi berkeadilan kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran. IESR dan ICEF merekomendasikan kebijakan sektor ketenagalistrikan sesuai dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dan mendorong pendanaan JETP. Fabby menyampaikan, kendala pendanaan green energy bisa diatasi, salah satunya melalui pasar modal, dengan melakukan penawaran saham umum perdana (
initial public offering/IPO).
Baca Juga: Soal Insentif Bea Masuk Alat Usaha Panas Bumi, Ini Kata Pengamat Namun, banyak persyaratan yang harus dipenuhi sehingga tidak semua perusahaan bisa masuk ke bursa efek. Menurutnya, untuk melantai di bursa, perusahaan energi terbarukan harus memiliki prospektus menarik baik dari sisi kinerja operasional maupun keuangan. "Misalnya perusahaan energi terbarukan ini memiliki 3 sampai 4 proyek, maka kita lihat bagaimana dengan investment return rate (IRR). Apakah memiliki kontrak jangka panjang. Apakah proyeknya tidak bermasalah, bagaimana rekam jejak dan kredibilitasnya," ujar Fabby. Sebelumnya, Ernst and Young (EY) Indonesia memprediksi IPO dari sektor energi terbarukan akan ditunggu seiring dengan meningkatnya minat pasar.
Dalam lima tahun terakhir, ada beberapa IPO yang sukses dari perusahaan energi terbarukan, termasuk PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto