KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Fintech Society (IFSoc) mendukung Bursa Efek Indonesia (EI) yang mulai membahas untuk menyesuaikan regulasi sebagai bentuk dukungan terhadap perkembangan industri ekonomi digital Indonesia yang saat ini berencana melakukan
initial public offering (IPO). Saat ini, ada tujuh dari 11 unicorn Asia Tenggara yang berasal dari Indonesia dengan total valuasi mencapai US$ 38 miliar. Hal ini tentu membuat IPO perusahaan teknologi nasional memiliki peran strategis. Ketua Steering Committee IFSoc Mirza Adityaswara mengatakan, perusahaan teknologi telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perusahaan teknologi melakukan berbagai inovasi melalui aplikasi transportasi, fintech, e-commerce, layanan pesan antar, edutech, hingga pendanaan UMKM (P2P Lending) sehingga roda ekonomi dapat terus berjalan di tengah pandemi Covid-19.
Bahkan pemerintah telah memanfaatkan fintech untuk mendistribusikan insentif program kartu prakerja. Hal ini membuat perusahaan teknologi memiliki pertumbuhan yang sangat masif, sehingga membuat adanya kebutuhan akan modal tambahan. Namun saat ini, investor asing masih mendominasi dibandingkan investor lokal.
Baca Juga: Ada 21 perusahaan dalam pipeline IPO, salah satunya perusahaan e-commerce “IPO perusahaan teknologi nasional memiliki arti strategis bagi arah ekonomi digital Indonesia termasuk membuka akses lebih luas dan likuid bagi investor yang ingin ambil bagian dalam perkembangan industri ekonomi digital. Oleh karena itu, IFSoc memandang perlunya kebijakan yang tepat untuk memfasilitasi tercapainya potensi pertumbuhan dengan tetap mempertimbangkan kaidah perlindungan terhadap investor minoritas,” tutur Mirza dalam keterangan resminya, Kamis (10/6). Steering Committee IFSoc Rudiantara menambahkan, IFSoc mendukung langkah BEI dalam merancang penyesuaian kebijakan untuk mengakomodasi perusahaan teknologi berskala unicorn dan decacorn untuk melakukan IPO di Indonesia. Mewakili IFSOC, ia pun ikut serta mendukung inisiatif papan akselerasi dari BEI untuk perusahaan teknologi non-unicorn agar mendapatkan akses pendanaan yang lebih terbuka baik dari investor dalam negeri maupun asing. IFSoc menyoroti beberapa isu yang memerlukan penyesuaian kebijakan, antara lain banyaknya perusahaan teknologi dengan bottom line yang belum mencatatkan laba dan tanpa tangible assets bernilai besar seperti perusahaan konvensional, namun memiliki pertumbuhan bisnis yang tinggi. IFSoc berpandangan BEI dan regulator terkait dapat menyesuaikan parameter bagi eligibilitas perusahaan teknologi untuk melakukan IPO terkait performa bisnis, keuangan serta tangible assets namun tetap memperhatikan aspek kesetaraan bagi perusahaan konvensional. Selain itu, perusahaan teknologi juga memiliki karakteristik untuk melakukan fundraising atau right issue dengan intensitas yang cukup tinggi. Sehingga diperlukan penyesuaian kebijakan yang dapat mengakomodasi right issue perusahaan teknologi secara periodik dengan intensitas yang wajar. Hal ini menimbulkan konsekuensi bagi investor minoritas di mana kepemilikan saham mereka akan terdilusi dengan dilakukannya right issue. Menurut IFSoc, penyesuaian kebijakan ini harus tetap mengedepankan keberpihakan kepada investor minoritas. Satu isu penting lainnya yang menjadi fokus IFSoc adalah struktur saham di Indonesia belum menerapkan multiple voting shares (MVS), yaitu suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya. MVS memungkinkan para pendiri perusahaan teknologi menjadi pemegang saham minoritas namun memiliki kendali untuk mengarahkan inovasi dan mempertahankan visi jangka panjang perusahaan.
IFSoc berpandangan, diperlukan kriteria yang terukur terkait besaran voting rights yang dapat dimiliki oleh pendiri perusahaan untuk menyeimbangkan kepentingan investor minoritas. Perusahaan teknologi juga perlu mengimplementasikan good corporate governance dengan memperkuat struktur organisasi perusahaan dengan Komite Audit, divisi Internal Audit dan penunjukan Komisaris Independen sehingga setiap keputusan pendiri dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di samping itu, perlu adanya komunikasi secara berkala kepada investor untuk menjelaskan peta jalan dan perkembangan perusahaan menuju kondisi keuangan yang sehat. “Semua penyesuaian kebijakan terkait startup yang hendak IPO harus selalu mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan investor minoritas dan publik namun juga tetap memberikan insentif yang menarik bagi potensi masuknya pendanaan dari investor global ke Indonesia,” imbuh Rudiantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat