Ignatius Untung, Ketua Umum idEA: Pemerintah jangan menumpang kami



KONTAN.CO.ID -  Industri e-commerce di tanah air sedang naik daun. Meski usianya masih terbilang muda, lembaga riset dunia, McKinsey memperkirakan, potensi pasar industri ini di Indonesia mencapai US$ 65 miliar pada 2022 mendatang.

Itu berarti, pertumbuhannya bakal lebih dari delapan kali lebih dibandingkan dengan nilai pasar di 2017 lalu sebesar US$ 8 miliar.

Dalam laporan berjudul The Digital Archipelago, McKinsey mengungkapkan, ada dua faktor yang mendorong pertumbuhan yang sangat pesat itu. Yakni, penetrasi penggunaan ponsel pintar dan daya beli masyarakat yang stabil.


Nah, demi meningkatkan kepastian dan keadilan, pemerintah akan menarik pajak atas transaksi e-commerce mulai 1 April nanti.

Pajak yang ditarik, mulai pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak penghasilan (PPh), bea masuk, hingga pajak dalam rangka impor (PDRI).

Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK 010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Beleid ini terbit 31 Desember.

Tapi, pemerintah memastikan, kehadiran PMK No. 210/2018 untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce. Ini demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional.

Biar berjalan mulus, Direktorat Jenderal Pajak akan melaksanakan sosialisasi kepada para pelaku e-commerce, termasuk penyedia platform marketplace dan para pedagang yang menggunakan platform itu.

Toh, penerbitan peraturan tersebut langsung menyulut pro dan kontra sekaligus kehebohan di awal tahun. Bagaimana respons pelaku e-commerce? Mereka menolak atau malah mendukung penuh?

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung membeberkannya ke wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho, Rabu (23/1). Berikut nukilannya:

KONTAN: Demi keadilan, pemerintah bakal menarik pajak ke pelaku e-commerce mulai 1 April 2019. Tanggapan para pelaku usaha? IGNATIUS: PMK Nomor 210/2018 yang mengatur perpajakan atas transaksi e-commerce memang bisa multitafsir, karena compact (padat).

Dan, orang akan menganggapnya sebagai aturan tentang pajak. Padahal, setelah kami konfirmasi ke Kementerian Keuangan, mereka bilang, tidak ada aturan pajak baru.

Ini hanya terkait pengumpulan data. Mereka ingin menambah database pajak dari ekosistem online.

Nah, awalnya semua wajib menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau kalau enggak punya maka menyetorkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Lalu, kami sampaikan ke Kementerian Keuangan, bahwa sebenarnya banyak sekali pedagang di ekosistem online yang levelnya mikro. Yakni, pedagang yang omzetnya di bawah Rp 300 juta per tahun.

Merujuk pada studi kami, ada 80% dari 1.765 pelaku e-commerce di 18 kota di Indonesia masih masuk kategori mikro. Sebanyak 15% masuk dalam kategori kecil dan hanya 5% yang sudah bisa dikatakan masuk usaha menengah.

Jumlah yang mayoritas ini sangat mungkin masih berjuang untuk bertahan, menguji model bisnis mereka, sebelum bisa membesarkan usahanya.

Dengan margin kurang lebih 20% yakni Rp 60 juta maka kalau dibagi 12, per bulan cuma Rp 5 juta. Ini, kan, sama dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kemudian, kami ajukan, bisa enggak mereka tidak kena kewajiban menyetor NPWP dulu.

KONTAN: Memang sebenarnya, bagaimana respon para pelaku usaha yang membuka lapak di marketplace? IGNATIUS: Mereka ketakutan kalau harus menyerahkan NPWP. Kok, mau mencari uang saja susah banget, mending berhenti saja.

Terakhir, Kementerian Keuangan sepakat, para pedagang mikro tidak akan kena aturan ini, meskipun besaran omzetnya masih didiskusikan, apakah Rp 300 juta atau Rp 4,8 miliar per tahun.

Lalu, tuntutan kami yang lain adalah ada keadilan. Kementerian Keuangan menyatakan, salah satu latar belakang diberlakukan aturan ini ialah biar adil antara pedagang online dan offline.

Kami langsung merespons, bahwa adil bukan hanya marketplace online dan offline, tapi juga pedagang yang ada di media sosial (medsos).

Sebab, data kami menunjukkan, sebanyak 95% perdagangan online masih ada di medsos, maka mereka juga harus dikenakan aturan perpajakan.

Kementerian Keuangan pun setuju dengan usulan kami. Cuma memang, kami belum dapat gambaran mekanismenya.

Kalau pengawasan di marketplace, sebenarnya lebih mudah mengecek data penjualannya. Tinggal lihat data dari platform.

Dari situ bisa membedakan, mana yang masih mikro sehingga harus dilindungi dan mana pula yang sudah mandiri. Masalah muncul di medsos karena transaksinya di luar platform.

Platform hanya tempat beriklan saja. Jadi, Facebook dan Instagram, mereka tak bisa tahu, berapa penjualan para pelaku bisnis online.

Kalau ditanya langsung ke pelaku bisnis tentang skala usaha mereka, maka besar kemungkinan semuanya akan menjawab: mikro, supaya tidak terkena pajak.

Jadi, ada masalah besar yang harus diselesaikan tentang mekanisme teknis medsos. Saran kami untuk medsos, tidak ada pembedaan dan mereka semua juga harus menyetorkan NPWP.

Pembedaan hanya berlaku untuk marketplace. Karena kalau medsos dibiarkan, para pengusaha online akan lari ke medsos yang pengawasannya lemah.

KONTAN: Pemerintah minta asosiasi ikut membantu sosialisasi PMK No. 210/ 2018. Asosiasi sudah melakukan? IGNATIUS: Kami keberatan. Alasannya, kelayakan infrastruktur dan sistem untuk memenuhi kebutuhan itu tidak akan terkejar hingga batas implementasi peraturan tersebut pada 1 April mendatang.

KONTAN: Itu berarti, asosiasi menolak pemungutan pajak transaksi e-commerce? IGNATIUS: Prinsipnya, kami siap melaksanakan peraturan yang berlaku mulai 1 April ini. Tinggal kami mengawal aturan detailnya bagaimana dan penerapannya seperti apa.

Kalau semua sesuai dengan aspirasi, kami ikut dan enggak usah ada ribut-ribut. Tapi, jika sampai ada permintaan kami yang tidak diakomodir, misalnya, soal teknis pengawasan kepada medsos dan ternyata belum ada rencana jelas, maka kami pasti akan menolak. Ini tidak fair.

Kami tahu, hampir semua medsos yang punya asing. Sedangkan marketplace, mayoritas lokal meskipun ada investasi asing. Tapi, kan, yang penting pemiliknya orang kita.

KONTAN: Masalahnya, sekalipun pemiliknya lokal, pemerintah sulit menghitung nilai industri e-commerce lantaran sulit memperoleh data. Badan Pusat Statistik (BPS) pun mengakui ini. Memang benar, ada upaya dari pelaku e-commerce untuk menyembunyikan data-data mereka? IGNATIUS: Kalau boleh memilih, sih, kami ingin tidak ada kewajiban untuk memberikan data, termasuk ke pemerintah. Pemain besar saja juga pasti enggan sebenarnya.

Tapi harus dipahami, kami bukan mendukung agar orang tidak membayar pajak, melainkan jangan dong ditumpangi di platform kami. Industri kita masih sangat muda, masih kecil.

Analoginya, ada anak kecil yang ditumpangi orangtuanya untuk mencari uang. Itu, kan, tugas orangtua, janganlah dibebankan kepada kami yang masih kecil, nanti tidak bisa berkembang.

Direktorat Jenderal Pajak yang sudah berpengalaman masa ingin meng-NPWP-kan orang dengan menumpang ke kami. Numpanglah ke pemain yang ekosistemnya sudah mapan. Ingat, meskipun prospeknya besar, kami masih dalam proses tumbuh kembang.

Kami sudah mengusulkan, sebaiknya ke perbankan. Sekarang, kan, kebanyakan orang punya rekening bank. Mencegatnya di sana saja.

Ketika bank ditumpangi, saya yakin, mereka juga tidak akan terganggu seperti di marketplace. Cuma, ya pihak Pajak tetap keukeuh menumpang ke marketplace. Kami bilang, ya sudah boleh, namun dengan syarat-syarat.

KONTAN: Dengan ada aturan perpajakan ini, bagaimana kelak perkembangan industri e-commerce ke depan? IGNATIUS: Untuk saat ini, tren pertumbuhan kami sangat baik. Beberapa ada yang tumbuh puluhan kali lipat bahkan ada juga yang tumbuh ratusan kali lipat.

Ada pelaku usaha baru muncul, yang lama juga makin kuat. Meski ada juga yang tumbang, walau tak sebanyak beberapa waktu lalu.

KONTAN: Pelaku bisnis yang tumbang, penyebabnya? IGNATIUS: Ada karena kehabisan dana, kalah bersaing, diakuisisi, dan ada juga yang merger dengan pihak lain.

KONTAN: Tahun ini, industri e-commerce kita akan tumbuh seberapa besar? IGNATIUS: Untuk angkanya, saya tidak berani menyebutkan dengan pasti. Alasannya, industri ini masih muda, masih beragam dan kami tidak punya data agregat.

Kalau dipaksa, akan terjadi gap sangat besar. Untuk pelaku e-commerce yang masih baru, dua tiga tahun beroperasi, pertumbuhannya bisa ratusan persen. Tetapi, untuk yang lebih lama lagi, maka maksimal sekitar puluhan persen.

KONTAN: Tahun ini, kan, tahun politik. Apakah ada dampaknya ke pertumbuhan industri e-commerce? IGNATIUS: Pemilu tidak terlalu berpengaruh. Yang paling penting, stabilitas ekonomi dan keamanan. Apalagi, tahun ini juga banyak yang memprediksikan pemilu akan damai.        

◆ Biodata

Riwayat pendidikan: ■     Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ■     Master of Business Administration (MBA) University of Liverpool, Inggris

Riwayat pekerjaan: ■     Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) ■     Country GM Indonesia, REA Group (rumah123.com)     ■     Vice President Marketing Kaskus Network   ■     Research & Planning Division Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) ■     Head of Marketing Blanja.com   ■     Director of Marketing English First (EF) ■     Country Marketing & Business Development Manager TCT Mobile (Alcatel Onetouch)   ■     Founder Lightworks.co (The Light Magazine) ■     Head of Marketing & Business Development Imagine Asia       ■     Associate Creative Director Grey Worldwide ■     Strategic Planning Director Imagine Asia ■ Creative Grooup Head JWT Adforce.

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 28 Januari - 3 Februari 2019. Selengkapnya silakan klik link berikut: Pemerintah Jangan Menumpang Kami

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga