KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan datang dari aksi jual beli bersih atau
net sell investor asing sebesar Rp 633,22 miliar di seluruh pasar. Sepanjang tahun berjalan ini, asing sudah mencatatkan
net sell Rp 3,32 triliun.
Mayoritas saham emiten
big caps ambruk, terutama saham-saham perbankan. Saham PT Bank Mandiri Tbk (
BMRI) terkoreksi 2,26% dan mengikis IHSG sebesar 11,17 poin.
Saham PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (
BBNI) masing-masing ambruk 1,55%, 1,30% dan 1,90%.
Tekanan juga datang dari saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang ambles 3,74% ke level Rp 9.659.
Baca Juga: Window Dressing Tak Terjadi, Cermati Potensi January Effect dan Saham Jagoan Analis Head of Research Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas menjelaskan tekanan pada IHSG beberapa hari ini disebabkan adanya meredupnya harapan atas ekspektasi penurunan suku bunga The Fed di 2025.
“Ini menyebabkan nilai tukar rupiah melemah, sehingga membuat pelaku asing terus mencatatkan
outflow, terutama pasa saham
blue chips perbankan,” katanya kepada Kontan, Selasa (14/1).
Nafan Aji Gusta,
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas menambahkan tekanan pada pasar saham Indonesia turut dipengaruhi oleh dinamika pelantikan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS).
“Para pelaku pasar bersiap menyambut kepemimpinan Trump, yang menetapkan kebijakan pada pertumbuhan sehingga menarik aliran dana asing masuk ke AS,” ucap dia.
Tak hanya itu, Nafan bilang tekanan juga datang dari sikap The Fed yang masih
hawkish. Di mana era suku bunga tinggi masih akan berlangsung lama alias
higher for longer.
Baca Juga: IHSG Tumbang ke 6.956, 4 Saham Big Bank Paling Banyak Dijual Asing, Selasa (14/1) Menakar peluang January effect Kalau dicermati, sepanjang tahun berjalan ini IHSG sudah terkoreksi 1,74% per Senin (14/1). Tekanan pada indeks komposit ini semakin memudarkan peluang terjadinya January Effect.
Dalam lima tahun terakhir, IHSG hanya menguat sekali pada 2022. Pada kala itu, IHSG berhasil menguat 0,78% sepanjang Januari 2022.
Nafan mencermati pada Januari 2020 dan 2021, IHSG ditekan karena pandemi Covid-19. Sementara pada Januari 2023 dan 2024, IHSG ditekan oleh kekhawatiran terjadinya hard landing di AS.
“Sepanjang tahun berjalan ini IHSG sudah negatif, sehingga rasanya January Effect berpeluang tidak jadi. Kecuali IHSG pergerakan IHSG masih positif sepanjang Januari ini,” jelas dia.
Baca Juga: Ada Peluang January Effect, Saham Blue Chip Bisa Naik VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi menyebut kondisi tekanan pengetatan suku bunga belakangan ini mulai memudarkan January Effect.
Ini sebabkan oleh target relaksasi kebijakan ini semakin mengecil yang disebabkan kekhawatiran kebijakan Donald Trump terhadap perlawanan akan inflasi dan juga arah kebijakan Thed Fed yang masih akan
hawkish.
“Hal ini yang membuat investor menahan diri dari pasar saham, tercatat asing juga masih
outflow sebesar Rp 1,53 triliun di seluruh perdagangan,” ucap Audi.
Namun Audi memproyeksikan tekanan akan mulai berangsur membaik seiring dengan rilis kinerja tahun buku 2024. Dengan catatan, hasilnya sesuai dengan ekspektasi pasar.
Baca Juga: IHSG Ambruk di Bawah 7.000, Intip Saham Pilihan Untuk Rabu (15/1) Sukarno menimpali tekanan jual akan terus berlangsung hingga saham
blue chip yang dijual investor asing sudah berada di harga yang ideal dan valuasinya sudah tergolong murah.
“Tekanan juga akan mulai mereda saat musim jadwal pengumuman pembagian dividen dari tahun buku 2024 pada kuartal satu ini,” jelasnya.
Secara teknikal, Sukarno memproyeksikan IHSG bisa lanjut turun ke level 6.698. Sementara Nafan mencermati IHSG akan menguji
lower low pada
wave c sebelumnya di posisi 6.932.
Lebih lanjut, Sukarno menyarankan investor untuk
wait and see pada saham-saham yang dijual oleh investor asing, sambil mencermati saham-saham yang secara teknikal bisa menguat seperti AADI, RAJA, SCMA dan INCO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih