KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bertahan di level 7.000 hingga perdagangan sesi I hari ini, Kamis (4/8). Di akhir perdagangan sesi I hari ini, IHSG ditutup pada level 7.066,97 atau naik 0,29%. Equity Anlyst Pilarmas Investindo Desy Israhyanti mengatakan, level psikologis IHSG memang berada di angka tersebut setelah pergerakannya cukup tertatih-tatih sejak The Fed menaikkan suku bunga agresif dan tren capital outflow yang meningkat. Jika ditarik pergerakan IHSG dalam sebulan terakhir, Desy melihat trennya cenderung meningkat dengan return 3,71%. Lalu jika dibandingkan dengan bursa Asia lainnya sebulan terakhir, IHSG pergerakannya sama dengan bursa Singapura meskipun return-nya lebih tinggi Singapura sebesar 4,64%.
Baca Juga: IHSG Menguat ke 7.066,97 di Sesi Pertama, Sektor Teknologi Melaju Paling Kencang Nikkei Jepang juga masih cenderung meningkat tetapi memasuki Agustus sudah terlihat pelemahan, walaupun return-nya masih di atas Singapura, yakni 6,4%. Sementara, Shanghai kontraksi sebesar 6% sejalan dengan kondisi marketnya yang banyak isu dari mulai kasus Covid-19, kebijakan politik, sampai skandal properti. "Secara keseluruhan, IHSG dibandingkan bursa lainnya cenderung bergerak optimistis meskipun dari sisi return, Singapura dan Nikkei masih memimpin," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (4/8). Menyikapi tekanan global yang terus bergulir, pihaknya melihat laju IHSG bisa stabil secara jangka pendek mengingat fundamental Indonesia cukup kuat menghadapi terjangan eksternal. "Belum lagi, nanti memasuki kuartal IV IHSG cenderung menguat hingga akhir tahun," sambungnya. Oleh sebab itu, Pilarmas Investindo memproyeksikan target IHSG sampai akhir tahun berada di 7.380. Walau begitu, tetap ada sentimen yang perlu perhatikan. Menurut Desy, ke depannya sentimen yang akan mempengaruhi yaitu dari sisi eksternal dan internal. Untuk eksternal potensi perlambatan ekonomi global sebagaimana probabilitas resesi negara maju sudah cukup tinggi, lalu ada perang Rusia dan Ukraina yang belum juga usai yang mana dampaknya ke krisis energi dan pangan karena membuat sisi suplai dan demand tidak berimbang. Kemudian, inflasi makin tinggi dan normalisasi moneter tidak bisa terhindarkan. Stok minyak pun terus menjadi perhatian yang membuat harga komoditas minyak mentah cukup volatile. Ditambah lagi, ketegangan geopolitik antara AS dan China yang mencuat baru-baru ini di mana memberikan kekhawatiran muncul perang berikutnya setelah perang dagang hampir berujung solutif. Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham PGAS, WOOD, BRIS dan ASSA untuk Perdagangan Kamis (4/8) Dari internal, lebih banyak ke optimisme kas negara, neraca dagang serta cadangan devisa karena pemerintah pandai memanfaatkan momentum kenaikan harga komoditas imbas perang untuk menambah pundi-pundi kas negara. Lalu, kenaikan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga dalam negeri yang dikhawatirkan melemahnya daya beli. "Apalagi, subsidi minyak membengkak. Kemudian juga foregin capital dengan spread suku bunga yang mengecil dan akhirnya berujung pada gejolak nilai tukar rupiah," paparnya. Dari sentimen-sentimen tersebut, Desy menilai sentimen eksternal diproyeksikan bisa bisa membahayakan portofolio lantaran super dinamis sehingga berpotensi menghambat laju pemulihan ekonomi dalam negeri. Kemudian, masifnya penyebaran varian baru Covid-19 yang tak henti bermunculan sehingga aset berisiko bisa dilepas dan harga saham juga bisa terdampak.