IHSG cukup defensif dari sentimen konflik AS-Iran, simak rekomendasi analis berikut



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran semakin memanas, pasca kematian Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani. Meski sempat tertekan hingga 0,85% pada perdagangan kemarin ke level 6.225,69, hari ini, Kamis (9/1), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru ditutup menguat 0,78% ke level 6.274,49.

Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mengatakan ini sejalan dengan pengalaman sebelumnya, dimana Amerika Serikat (AS) sering terlibat dalam konflik Timur Tengah. Dia mencontohkan kasus penyerangan World Trade Center (WTC), pada saat itu bursa dalam negeri tidak terdampak signifikan.

“Ada kemungkinan peristiwa di Iran ini kita akan cuek saja. Tetapi tergantung Iran membalas seperti apa, yang masih harus kita lihat lagi dalam beberapa waktu ke depan. Kalau berkaca dari pengalaman yang sudah, tidak ada masalah,” jelas Teguh, Kamis (9/1).


Baca Juga: Trump tak akan balas menyerang, IHSG menguat 0,78% pada Kamis (9/1)

Justru yang perlu diperhatikan adalah sikap Iran merespons konflik ini. Sebagai salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia, sikap Iran akan sangat mempengaruhi pergerakan harga minyak. Hal ini akan merembet pada kenaikan harga komoditas lainnya seperti batubara dan emas. Pada akhirnya, ini akan menjadi sentimen negatif bagi IHSG.

Karena belum diketahui seperti apa respons Iran, sejauh ini, Teguh melihat pasar cenderung stagnan lantaran investor akan lebih menunggu. Para pemegang saham juga belum akan menjual kepemilikannya, karena peluang antara kenaikan harga minyak ataupun penurunannya masih cenderung 50:50.  

Per hari ini, minyak West Texas Intermediate (WTI) justru melemah berada di posisi US$ 59,66 per barel.

Dengan kondisi tersebut, Teguh berpendapat saham-saham yang cukup defensif dari sentimen tersebut bergerak di sektor barang konsumer dan properti. Barang konsumer misalnya, meski ada sentimen negatif pelemahan daya beli, justru produk-produk kebutuhan dasar seperti makanan dan rokok tetap akan dibeli. Sementara yang terkena dampak pelemahan daya beli justru sektor properti dan otomotif.

Editor: Herlina Kartika Dewi