KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan drastis indeks saham Dow Jones Industrial Average di Amerika Serikat (AS) kembali terjadi semalam, Kamis (8/2). Akibatnya, bursa saham global, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali memerah sejak pembukaan perdagangan pagi tadi. Tak cuma Dow Jones, indeks FTSE 100 Inggris pun turun 1,49% pada perdagangan Kamis. Indeks Nikkei 225 Jepang yang turun 2,45% dan indeks Hang Seng turun hingga 3,33%. Bahkan indeks Shanghai Composite China mencatatkan penurunan hingga 4,11%, mendekati penurunan Dow Jones. Hal ini turut membuat IHSG ikut tertekan. Hingga penutupan sesi pertama perdagangan hari ini, IHSG telah mencatat penurunan sebesar 1,10% ke level 6.472,51.
VP Research & Analysis Valbury Asia Futures Nico Omer Jonckheere mengatakan, pelaku pasar seharusnya tak perlu kaget apabila Dow Jones koreksi besar. "Sebab indeks saham AS telah mencatatkan kenaikan yang cukup banyak. Hal ini membuat indeks Dow Jones dan S&P 500 menjadi indeks saham paling
overbought, paling
overbullish dari segi sentimen dan paling
overvalued sepanjang sejarah," kata Nico kepada Kontan.co.id, Jumat (9/2). Penurunan ini pun diartikan Nico sebagai sinyal awal
bear market yang baru. Namun, hal ini baru bisa terjadi apabila
rebound yang terjadi di pasar nanti tidak dapat melampaui level tertinggi sebelumnya. Adapun merosotnya indeks Dow Jones terjadi akibat kenaikan
yield US Treasury bertenor 10 tahun yang sempat mencapai angka 2,85%, hampir menyentuh level tertinggi selama empat tahun terakhir. Selisih atau
spread yield obligasi di AS dan Eropa juga menjadi semakin tinggi. Akibatnya, obligasi milik pemerintah AS ini dipandang lebih menarik oleh para pelaku pasar. Kenaikan
yield ini pun membuat sebagian pelaku pasar di AS mempertimbangkan untuk menarik dananya dari pasar saham dan mengalihkannya ke obligasi pemerintah. Sehingga hal ini membuat indeks saham di AS pun mengalami penurunan yang signifikan selama beberapa hari terakhir. Namun, pelaku pasar Indonesia tak perlu khawatir. Meskipun IHSG ikut terkena dampak penurunan indeks saham AS, Nico melihat Indonesia relatif lebih kuat sehingga penurunan yang dialami IHSG tidak akan sedalam Dow Jones.
Menurutnya, ada empat hal yang membuat pasar saham Indonesia bisa lebih kebal dibanding bursa saham negara lainnya.
Pertama, demografi. Jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai lebih dari 250 juta jiwa dan didominasi usia produktif membuat ekonomi Tanah Air masih berpotensi untuk terus tumbuh di masa depan.
Kedua, jumlah utang Indonesia pun paling rendah dibanding negara-negara anggota G20 lainnya. Lalu yang
ketiga, komoditas yang akan kembali jadi primadona berkat kenaikan harga batubara dan minyak dunia sejak akhir tahun lalu, mendukung kekebalan IHSG terhadap penurunan Dow Jones. "
Keempat, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga cukup tinggi, dua kali lipat ketimbang pertumbuhan ekonomi negara maju sehingga saya rasa IHSG punya imunitas yang lebih kuat terhadap sentimen eksternal ini," terang Nico. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati