IHSG masih dibayangi koreksi pekan depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terimbas pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. IHSG ditutup turun 18,21 poin atau setara 0,29% ke level 6.337,69 pada Jumat (20/4).

Hari ini, rupiah bahkan menyentuh posisi terlemah sejak 1 Februari 2016 dan menembus kisaran perdagangan yang diperkirakan Bank Indonesia. Kurs tengah BI pada Jumat (20/4) berada pada level Rp 13.804 per dollar AS.

Krishna Dwi Setiawan, Head of Lots Services Lotus Andalan Sekuritas menyatakan, rupiah yang tertekan merefleksikan kebijakan Bank Indonesia dalam mempertahankan BI Seven Days Repo Rate. Seperti diketahui, Kamis (19/4), Bank Indonesia mempertahankan tingkat suku bunga acuan pada level 4,25%.


“Namun, ini sifatnya hanya sentimen jangka pendek, karena apa yang dilakukan bank sentral juga didukung oleh data ekonomi makro,” kata Krishna kepada KONTAN di Bursa Efek Indonesia, Jumat (20/4).

Menurut dia, belum ada kondisi yang memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Dia melihat saat ini data-data ekonomi makro dalam negeri  juga cukup positif. Inflasi  bertahan cukup baik pada 3,2%-3,4% dan belum ada faktor yang mengancam inflasi naik tinggi. Sebab pemerintah juga melakukan intervensi terhadap ekonomi.

“Jadi kalau ekonomi stabil, pertumbuhan stabil, seharusnya investor akan bertahan dan bahkan akan meningkatkan investasi di tahun mendatang,” papar Krishna.

Meski demikian, perhatian finansial global saat ini masih tersita pada rencana kenaikan suku bunga The Federal Reserve. Peluang kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tahun ini diprediksi bisa mencapai tiga kali. Dia memperkirakan kebijakan tersebut terlaksana pada pertengahan tahun ini.

Itu sebabnya, ia memperkirakan, pelemahan indeks masih bisa berlanjut pekan depan. Tapi, pekan depan juga akan ada dukungan dari rilis kinerja emiten kuartal I-2018.

Lanjut Krishna, pelemahan rupiah tidak akan mempengaruhi kinerja emiten jika terjadi dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, sentimen ini bisa menjadi sentimen positif bagi emiten yang memiliki orientasi ekspor. Sedangkan emiten yang bakal tertekan diantaranya yang punya utang dalam dollar AS cukup tinggi.

“Tapi emiten sudah banyak belajar dari krisis sebelumya, jadi mereka cukup antisipatif dan tidak banyak pinjaman mata uang asing. Emiten juga mengeluarkan obligasi dalam bentuk rupiah. Emiten sekarang sudah lebih prudent,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini