IHSG: Saatnya jeda dan ambil untung



JAKARTA. Kegairahan tengah melanda pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun lagi-lagi mencatat rekor tertinggi. Kemarin (15/2), IHSG naik 0,46% ke level 4.609,79. Jika dihitung mundur sejak akhir 2012, indeks sudah naik 6,79%.

Pada posisi itu, rasio harga terhadap laba bersih (PER) IHSG  mencapai 18,39 kali. Angka ini lebih tinggi dari PER Straits Times Index (Singapura) dan Hang Seng (Hong Kong), yang masing-masing 10,36 kali dan 12,01 kali. Tapi, posisi itu masih lebih rendah ketimbang PER Nikkei 225 Tokyo dan Kospi Korea yang segede 23,26 kali dan 37,75 kali.

Hingga pengujung  tahun 2013, analis menebak, IHSG terbang lebih tinggi. Kepala Riset Danareksa Sekuritas Chandra Sahala Pasaribu memprediksi, IHSG bisa menggapai level 5.400 di akhir 2013. Namun dalam jangka menengah, koreksi bakal terjadi.


Ia memperkirakan, pergerakan indeks tahun ini akan sama dengan tahun lalu. Diawali dengan tren bullish di awal tahun, kemudian bergerak sideawys dengan kecenderungan turun, dan kembali naik hingga akhir tahun.

Profit taking?

Lantaran IHSG sudah menanjak cukup tinggi, kata Chandra, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merealisasikan keuntungan dari kenaikan harga (capital gain) saham yang memang sudah kemahalan. Dia menduga, dalam jangka menengah ada potensi penurunan indeks 2%-3% dari posisi saat ini.

Kepala Riset Bahana Securities Harry Su sependapat dengan Chandra. Secara teknikal, IHSG bisa melorot ke level 4.450. Dalam jangka menengah, koreksi IHSG juga bakal terjadi, terlebih jika pemerintah  jadi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). "Kalau BBM naik, inflasi akan tinggi, suku bunga naik dan saham-saham akan berguguran," terang Harry.

Kata Harry, secara historis, tren bullish IHSG biasanya terjadi lagi sekitar bulan Agustus. Jika saat ini investor memilih aksi ambil untung (profit taking), ini adalah langkah wajar. Harry memprediksi, hingga akhir tahun 2013 ini, IHSG akan di posisi 4.950.

Meski IHSG mencetak rekor tertinggi, beberapa saham masih berpeluang mencetak gain karena harganya masih murah. Bahana Securities, misalnya, merekomendasikan saham PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE), PT Ciputra Property Tbk (CTRP), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Waskita Karya Tbk (WSKT),  PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).

Harry juga menyarankan investor mencermati saham sektor perbankan yang prospek industrinya sedang moncer, meski harganya sudah cukup mahal.

Ambil contoh, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Ia memasang target harga BBNI di Rp 5.200, sedangkan BMRI di level Rp 10.400 per saham.

Harry merekomendasikan saham BBNI karena price to book value (PBV) masih di bawah industri. Menurut riset Bahana, Jumat (15/1), PBV BBNI hanya 1,6 kali, sedangkan rata-rata PBV industri perbankan mencapai 2,7 kali.

Sedangkan, Chandra menyarankan investor melongok saham sektor komoditas yang harganya belum melonjak. Meski prospek harga komoditas masih suram, namun lonjakan indeks bisa mengerek gerak saham komoditas. Saham yang Chandra unggulkan adalah PT BW Plantations Tbk (BWPT) dan PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) yang prospek kinerjanya cukup bagus.       n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: