IISIA: Impor baja boron gerus pasar baja nasional



JAKARTA. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) meminta pemerintah mengendalikan impor baja boron. Pasalnya, melonjaknya impor baja paduan yang biasanya digunakan dalam proyek infrastruktur tersebut membuat pasar baja nasional semakin tergerus.

“Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal dan mengakibatkan turunnya permintaan baja dari dalam negeri,” ujar Basso Datu Makahanap, Komite Standardisasi dan Sertifikasi IISIA, dalam diskusi bertema "Prospek dan Tantangan Industri Baja Nasional 2014" yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (5/5).

Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM). IISIA menduga, beberapa produsen baja dunia memanfaatkan aturan bebas BM baja boron untuk mengekspor produk baja jenis lain seperti baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) ke Indonesia. Impor HRC dan CRC saat ini dikenai BM 5%.


Modusnya, produsen, terutama yang berasal dari Tiongkok, menambahkan sedikit kandungan boron dalam HRC dan CRC. Selanjutnya, produsen bekerja sama dengan importir baja lokal untuk memanipulasi nomor HS. Dalam dokumen kepabeanan, importir menyebut baja jenis HRC dan CRC memiliki kandungan boron. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja impor tersebut sangat kecil, hanya 0,0008%, sehingga tidak mengubah sifat fisik maupun mekanik.

Menurut Basso, solusi permanen untuk menyelesaikan masalah serbuan baja boron impor bisa dilakukan dengan pengajuan safeguard sesuai prosedur formal organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). “Untuk melindungi produk baja boron lokal, harus memakai instrumen safeguard. Selain itu, praktik manipulasi impor harus segera diatasi,” tuturnya.

Berdasarkan hitungan IISIA, potensi kerugian negara akibat praktik penghindaran BM baja karbon dengan menggunakan HS baja paduan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Dari total 4 HS baja paduan (7225, 7227, 7228, 7229) yang mengalami lonjakan luar biasa selama empat tahun terakhir ini, ditaksir bahwa potensi kerugian negara bisa mencapai angka Rp 395 miliar per tahun. Tahun lalu, potensi kerugian negara ditaksir kurang lebih Rp 439 miliar.

Prediksi ini diperoleh dari beberapa asumsi, pertama asumsi pertumbuhan impor baja paduan dalam kondisi normal seharusnya maksimum di angka 10% (year on year/yoy) per tahun.

Asumsi kedua, rata-rata penghindaran BM diasumsikan 5% dari nilai impor. Sebagian besar HS baja paduan memiliki tarif BM 0 persen, ada sebagian yang 5%. Sementara tarif BM baja karbon mulai dari 5%, 7,5%, 10%, sampai 12,5%. Sedangkan, asumsi terakhir yaitu dolar AS yang menyentuh angka Rp 11.500.

Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, mengakui saat ini impor baja boron memang mengancam industri nasional. "Padahal selama ini, industri dalam negeri mampu memproduksi baja boron dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan baja boron impor,” katanya. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan