SURABAYA. Para perajin kerupuk di kelurahan Gunung Anyar, Surabaya mulai menghadapi tantangan. Kendala terbesar, yakni pasokan bahan baku yang semakin menipis.Warga Gunung Anyar memanfaatkan ikan payus sebagai bahan baku utama pembuatan kerupuk. Penggunaan ikan air payau ini pula yang menjadi ciri khas kerupuk buatan mereka. Sayang, ikan ini belum dibudidayakan. "Beberapa waktu lalu, pernah kami sedang menerima banyak pesanan namun tidak bisa mendapatkan bahan baku ikan payus," keluh Nur Izul Inayah, pemilik usaha kerupuk Pamurbaya ini.Menurutnya, kawasan bakau di Gunung Anyar memang merupakan tambak ikan. Namun, tambak ini bukanlah tempat budidaya ikan payus. Ikan yang ada di tambak itu terkumpul karena terbawa arus saat pasang air laut. Ikan-ikan itu masuk ke tambak, ketika air pasang melewati pintu air yang dibuka oleh petambak.Untuk mengatasi kendala bahan baku, kelompok perajin kerupuk di Gunung Anyar sudah mengajukan proyek pembudidayaan ikan payus kepada Dinas Perikanan Gresik. Memang, di beberapa negara, seperti Jepang, ikan ini sudah bisa dibudidayakan. "Tapi, Dinas Perikanan belum sanggup untuk mengembangkan budidaya ikan payus di Indonesia," klaim Inayah.Sebagai solusi, Inayah pernah mencoba mengganti bahan baku dengan menggunakan ikan bandeng. Ikan payus memang hampir serupa dengan bandeng. Namun, menurutnya, rasa yang dihasilkan berbeda. "Tidak bisa persis sama, karena rasa ikan payus lebih gurih dan teksturnya lebih lembut," ungkapnya.Apalagi, untuk kerupuk kualitas premium. Penggunaan daging ikan bandeng yang terlalu banyak, justru membuat rasa kerupuk lebih asam, bukan gurih.Perajin kerupuk lainnya, Nur Muniroh mengamini persoalan bahan baku ini. Pemilik usaha kerupuk Jaya Abadi ini bilang, pasokan ikan payus cenderung musiman. "Kalau sedang tak musim, ya pasokan tidak ada sama sekali," ujarnya. Untuk menyiasati pasokan, ia pun kerap mengambil pasokan dari desa lain.Untung, kata Muniroh, kawasan Gunung Anyar cukup terkenal sebagai produsen kerupuk ikan payus. Maka, tak jarang pengepul atau juragan ikan dari desa lain mendatangi Gunung Anyar untuk menawarkan stok ikan payus.Selain pasokan ikan, kendala lain yang dihadapi para perajin adalah harga terigu yang melejit. Kata Muniroh, harganya cepat sekali naik. Sebelum harga bahan bakar minyak (BBM) naik tahun ini, harga terigu sudah naik. Kemudian, sebelum lebaran, harganya naik lagi lebih dari 10%.Alhasil, mereka harus mengerek harga jual kerupuk berkisar Rp 2.000 hingga Rp 10.000 per kg, tergantung kualitas kerupuk. Para perajin menetapkan harga yang sama, demi menjaga persaingan sehat. "Kami sepakat menaikkan harga jual, karena tidak berani mengurangi kualitas kerupuk," tukas Muniroh. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ikan dan terigu bayangi bisnis kerupuk payus (3)
SURABAYA. Para perajin kerupuk di kelurahan Gunung Anyar, Surabaya mulai menghadapi tantangan. Kendala terbesar, yakni pasokan bahan baku yang semakin menipis.Warga Gunung Anyar memanfaatkan ikan payus sebagai bahan baku utama pembuatan kerupuk. Penggunaan ikan air payau ini pula yang menjadi ciri khas kerupuk buatan mereka. Sayang, ikan ini belum dibudidayakan. "Beberapa waktu lalu, pernah kami sedang menerima banyak pesanan namun tidak bisa mendapatkan bahan baku ikan payus," keluh Nur Izul Inayah, pemilik usaha kerupuk Pamurbaya ini.Menurutnya, kawasan bakau di Gunung Anyar memang merupakan tambak ikan. Namun, tambak ini bukanlah tempat budidaya ikan payus. Ikan yang ada di tambak itu terkumpul karena terbawa arus saat pasang air laut. Ikan-ikan itu masuk ke tambak, ketika air pasang melewati pintu air yang dibuka oleh petambak.Untuk mengatasi kendala bahan baku, kelompok perajin kerupuk di Gunung Anyar sudah mengajukan proyek pembudidayaan ikan payus kepada Dinas Perikanan Gresik. Memang, di beberapa negara, seperti Jepang, ikan ini sudah bisa dibudidayakan. "Tapi, Dinas Perikanan belum sanggup untuk mengembangkan budidaya ikan payus di Indonesia," klaim Inayah.Sebagai solusi, Inayah pernah mencoba mengganti bahan baku dengan menggunakan ikan bandeng. Ikan payus memang hampir serupa dengan bandeng. Namun, menurutnya, rasa yang dihasilkan berbeda. "Tidak bisa persis sama, karena rasa ikan payus lebih gurih dan teksturnya lebih lembut," ungkapnya.Apalagi, untuk kerupuk kualitas premium. Penggunaan daging ikan bandeng yang terlalu banyak, justru membuat rasa kerupuk lebih asam, bukan gurih.Perajin kerupuk lainnya, Nur Muniroh mengamini persoalan bahan baku ini. Pemilik usaha kerupuk Jaya Abadi ini bilang, pasokan ikan payus cenderung musiman. "Kalau sedang tak musim, ya pasokan tidak ada sama sekali," ujarnya. Untuk menyiasati pasokan, ia pun kerap mengambil pasokan dari desa lain.Untung, kata Muniroh, kawasan Gunung Anyar cukup terkenal sebagai produsen kerupuk ikan payus. Maka, tak jarang pengepul atau juragan ikan dari desa lain mendatangi Gunung Anyar untuk menawarkan stok ikan payus.Selain pasokan ikan, kendala lain yang dihadapi para perajin adalah harga terigu yang melejit. Kata Muniroh, harganya cepat sekali naik. Sebelum harga bahan bakar minyak (BBM) naik tahun ini, harga terigu sudah naik. Kemudian, sebelum lebaran, harganya naik lagi lebih dari 10%.Alhasil, mereka harus mengerek harga jual kerupuk berkisar Rp 2.000 hingga Rp 10.000 per kg, tergantung kualitas kerupuk. Para perajin menetapkan harga yang sama, demi menjaga persaingan sehat. "Kami sepakat menaikkan harga jual, karena tidak berani mengurangi kualitas kerupuk," tukas Muniroh. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News