Ikatan Apoteker Sebut Jenis Obat Mahal di Indonesia Hanya Punya Pasar 10%



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga obat-obatan yang mahal menjadi sorotan. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Noffendri Roestam mengatakan tidak semua jenis obat di Indonesia masuk dalam kategori mahal. 

Kata Noffendri, masyarakat perlu memahami adanya 3 jenis obat yang beredar di Indonesia. 

Jenis yang pertama adalah obat paten atau sering juga disebut originator. Alias obat yang memiliki perlindungan paten, pada umumnya sekitar 15 tahun-20 tahun sejak obat tersebut diajukan patennya.


Obat ini memperoleh paten karena merupakan obat pertama yang ditemukan dan dilengkapi dengan uji klinis yang lengkap tahap 1 hingga tahap 3. 

Yang kedua, obat generik bermerek atau obat dengan merek yang dibuat setelah masa paten habis. Dan yang ketiga, obat generik, yaitu obat dengan menggunakan nama kimia yang dibuat setelah masa paten habis.

Baca Juga: Ikatan Apoteker Indonesia: Harga Obat Murah Buat Industri Farmasi Tak Berkembang

Dari 3 jenis ini, yang paling mahal adalah obat paten atau originator yang penguasaan pasarnya hanya 10% di Indonesia. Sedangkan sisanya atau 90% dikuasai jenis obat generik bermerek dan generik. 

"Originator sudah pasti diproduksi industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA). Sedangkan yang generik itu program dalam negeri. Kemudian dalam hal penguasaan pasar, originator hanya 10%, yang generik ini 90%. Jadi, kemarin diributkan atau bermasalah mahal itu yang 10%," ungkap Noffendri, dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (25/07). 

Ia menambahkan, di Indonesia ada sekitar 190 pabrik industri farmasi PMDN (Pemilik Modal Dalam Negeri) dan 20 PMA (Pemilik Modal Asing).

Terlihat dari jumlah komposisi industri farmasi yang ada, industri farmasi PMA memegang hak memproduksi dan memasarkan obat yang masih dalam masa paten. Begitu masa patennya habis sebagian besar pasarnya akan diambil alih oleh produksi farmasi dalam negeri. 

Harga obat generik bermerek ini jauh lebih murah daripada obat paten, diperkirakan sekitar 30%-50% lebih rendah. Sedangkan harga obat generik jauh lebih murah lagi dari obat generik bermerek. 

Harga obat yang murah tersebut, kata Noffendri, terjadi karena di Indonesia perusahaan farmasi yang masuk program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) harga obat-obatnya akan mengikuti harga e-catalog yang telah ditetapkan pemerintah. 

"Saat ini sebagian besar dari 3 jenis obat tersebut tersedia dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dengan harga khusus. Harga Obat JKN ini bahkan sangat murah, 93% dari kebutuhan tablet berada di bawah harga Rp 500,-, 77% dari kebutuhan sirup berada di bawah harga Rp 5.000,- dan 65% dari kebutuhan injeksi berada di bawah harga Rp 2.000,-" jelasnya. 

Adapun, saat ini sebanyak 94,77% masyarakat Indonesia telah menjadi peserta JKN. Sehingga akses masyarakat Indonesia untuk memperoleh obat murah dan berkualitas bahkan gratis sudah terjamin melalui program pemerintah.

Hal ini terlihat dari data penjualan obat di Indonesia, di mana 81% obat yang beredar dan digunakan di Indonesia adalah obat generik dan obat generik bermerek yang diproduksi oleh industri farmasi PMDN. 

Kemudian terkait klaim harga obat Indonesia jauh lebih mahal dari obat Malaysia, Noffendri kemudian memberi contoh perbandingan harga obat antihipertensi, Amlodipine.  

"Misalnya Amlodipine, di Malaysia harga originatornya (obat paten) itu Rp 5.800 di apotek. Di Indonesia, obat patennya bisa mencapai Rp15.000. Namun, masyarakat diberikan pilihan generik yang hanya Rp 500, dan generik bermerek sekitar Rp 1.700," jelas Noffendri.

Baca Juga: Emiten Kesehatan Diramal Tumbuh Positif pada 2024, Ini Sentimen Pendorongnya

Noffendri juga mengklaim bahwa harga obat generik Amlodipine bisa lebih ditekan jika masuk ke dalam e-catalogue JKN, sehingga harganya bisa mencapai hanya Rp100 per tablet. 

"Lebih mahalan permen daripada tablet Amlodipine. Program JKN luar biasa menekan harga obat," imbuhnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat