KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) secara berkelanjutan perlu dilakukan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi persaingan global. Hal itu menjadi pembasan dalam Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 yang mempertemukan para ahli hukum dan keuangan Indonesia maupun internasional baru-baru ini. Insolvensi dan tata cara PKPU di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Mengingat usianya sudah 20 tahunan, UU tersebut dinilai perlu disempurnakan agar dapat beradaptasi dengan kebutuhan perekonomian Indonesia saat ini dan masa depan. Sekretaris Kementerian BUMN Rabin Indrajad Hattari mengatakan, jika dikelola dengan baik, PKPU dapat menjadi alternatif proses restrukturisasi asalkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan spesifik perusahaan.
“Namun, mengingat keterbatasan waktu, kepentingan kreditur, kemampuan perusahaan, dan unsur keuangan negara yang melekat pada entitas BUMN, maka proses PKPU perlu dilakukan dengan persiapan yang matang dengan memitigasi risiko dan mengedepankan tata kelola yang baik,” kata dia dalam keterangan resminya dikutip Senin (13/11). Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus memiliki pemikiran yang sama ketika menghadapi persoalan kepailitan dan PKPU di lingkungan BUMN dan mendukung proses restrukturisasi, sehingga perusahaan dapat pulih dan mampu mempertahankan kelangsungannya di masa depan.
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) dan Kimia Farma (KAEF) Teken MoU, Jalani Kerjasama di Sektor Ini Dari sisi makro, undang-undang yang mengawasi PKPU juga harus diperbaiki agar tidak terjadi silo dalam proses restrukturisasi ini. Semua pihak perlu memikirkan kembali dan mempertimbangkan perubahan UU Kepailitan yang ada. Per Desember 2022, terdapat lebih dari 100 badan usaha milik negara (BUMN) yang diawasi Kementerian BUMN dengan aset lebih dari US$500 miliar. mMengingat besarnya aset tersebut maka pertanyaan mengenai kebutuhan restrukturisasi dan insolvensi BUMN menjadi sangat penting. Terutama karena BUMN sering kali diberi mandat dengan misi yang kompleks. Masalah insolvensi dan prosedur PKPU juga menjadi PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Anggota holding Danareksa Holding ini memiliki peran penting sebagai satu-satunya National Management Asset Company (NAMCO) Indonesia dengan dua fungsi utama, yaitu merestrukturisasi dan menghidupkan kembali BUMN yang mengalami kesulitan serta menyelesaikan aset berkualitas rendah di sektor perbankan. Presiden Direktur Danareksa Yadi Jaya Ruchandi mengatakan, pihaknya berharap PPA mampu menyelesaikan proses restrukturisasi dan menghidupkan kembali BUMN yang mengalami kesulitan, serta mengelola dan melaksanakan proses pemulihan yang efektif untuk aset berkinerja rendah dalam ekosistem internal Danareksa dan ekosistem BUMN secara luas, termasuk BUMN perbankan dan non-bank.
Baca Juga: Dua Faktor Ini Membebani Kinerja Bisnis Maskapai Penerbangan “Sebagai contoh, sejak akhir 2020, PPA telah diberi tugas mengelola dan merestrukturisasi 22 BUMN yang mengalami kesulitan, melalui sejumlah strategi restrukturisasi, mulai dari PKPU, perubahan arah, hingga likuidasi. Saat ini, jumlah tersebut telah berkurang menjadi 15 BUMN. Dan untuk tahun mendatang, kami akan menguranginya lagi menjadi sekitar 7 BUMN,” ungkapnya. Yadi menegaskan, Danareksa akan mendukung dan mengawal proses perolehan aset tersebut dari sistem, dan setelah akuisisi, PPA akan menjalankan salah satu kompetensi intinya dalam melakukan proses pemulihan asset untuk mendukung terciptanya iklim bisnis yang semakin kondusif.
Direktur BlackOak LLC Darius Tay selaku praktisi spesialis hukum kepailitan di Singapura menjelaskan, Singapura bisa diakui sebagai hub internasional untuk restrukturisasi utang karena negara itu terus memperbaiki kerangka hukum dalam penanganan masalah kebangkrutan dan insolvensi. Prosedur restrukturisasi Singapura, sebagaimana ditentukan dalam IRDA, berupaya untuk mendorong rehabilitasi perusahaan sekaligus memastikan bahwa hak-hak kreditor dilindungi secara memadai. Namun, Darius mencatat, jika terjadi likuidasi, umumnya kepentingan kreditur akan diutamakan karena pemegang saham seringkali “out of the money”. Menurutnya, salah satu faktor kunci yang membuat penanganan kebangkrutan dan penangguhan pembayaran di Singapura lebih akomodatif dibandingkan negara lain adalah canggihnya peradilan spesialis dan industri profesional insolvensi yang kuat, yang mampu menyumbangkan ide-ide segar dan solusi inovatif pada ekosistem restrukturisasi. “Hakim spesialis kepailitan kami memiliki pendekatan praktis dalam menangani masalah. Hakim tak hanya memahami perangkat yang tersedia berdasarkan undang-undang setempat, namun juga mengetahui perkembangan terkini di yurisdiksi lain," jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk