KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Mining Association (IMA) mengungkap terdapat 3 poin penting terkait wacana pemerintah menaikkan tarif royalti mineral dan batubara (minerba) dalam waktu dekat ini. Menurut Direktur Eksekutif IMA, Hendra Sinadia pihaknya menilai dengan beberapa kondisi dan beban yang harus ditanggung pelaku tambang saat ini, wacana kenaikan royalti tambang tidak tepat. Ia juga meluruskan terkait permintaan IMA terhadap penundaan pelaksanaan kenaikan tarif royalti minerba tersebut. "Tidak berarti kita minta menunda, oh waktunya mungkin di bulan berapa, enggak. Tapi tentu ditundanya rencana finalisasi Peraturan Pemerintah (PP)-nya. Berarti kita minta waktu untuk bisa membahas lagi sama pemerintah supaya lebih komprehensif," jelas Hendra saat ditemui di acara konferensi pers Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Jakarta, Senin (17/03). Baca Juga: Tarif Royalti Nikel Indonesia Termasuk Paling Tinggi di Dunia, Ini Perbandingannya Poin pertama menurut Hendra yang harus menjadi pertimbangan adalah pengkajian kembali terhadap beban-beban yang saat ini harus ditanggung oleh para penambang. Poin kedua, terkait dengan besaran tarif royalti minerba di Indonesia yang menurutnya sudah tidak kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain. "Kita udah tinggi banget sih (royalti) untuk berapa komoditas dibandingkan negara-negara lain. Sementara kan kita tadi ngomong kompetisi juga. Kita bukan penguasa tunggal nih," ungkap Hendra. Ia mencontohnya, untuk nikel misalnya Indonesia harus bersaing harga dan produksi dengan Filipina, ada South Africa, dan New Caledonia. "Jadi kita harus hitung juga kompetisi tarif gitu ya, kita masuk yang tinggi," tambahnya. Poin ketiga menurut Hendra berkaitan dengan penerimaan negara dari sektor minerba yang justru mengalami kenaikan sejak dua tahun terakhir. "Di 2023 naik 118 persen. 2024 naik 123 persen. Kok dinaikin lagi gitu ya? Kalau memang pemerintah butuh duit. Iya kan?," tanyanya.
IMA Ungkap 3 Poin Penting Terkait Wacana Kenaikan Tarif Royalti Minerba
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Mining Association (IMA) mengungkap terdapat 3 poin penting terkait wacana pemerintah menaikkan tarif royalti mineral dan batubara (minerba) dalam waktu dekat ini. Menurut Direktur Eksekutif IMA, Hendra Sinadia pihaknya menilai dengan beberapa kondisi dan beban yang harus ditanggung pelaku tambang saat ini, wacana kenaikan royalti tambang tidak tepat. Ia juga meluruskan terkait permintaan IMA terhadap penundaan pelaksanaan kenaikan tarif royalti minerba tersebut. "Tidak berarti kita minta menunda, oh waktunya mungkin di bulan berapa, enggak. Tapi tentu ditundanya rencana finalisasi Peraturan Pemerintah (PP)-nya. Berarti kita minta waktu untuk bisa membahas lagi sama pemerintah supaya lebih komprehensif," jelas Hendra saat ditemui di acara konferensi pers Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Jakarta, Senin (17/03). Baca Juga: Tarif Royalti Nikel Indonesia Termasuk Paling Tinggi di Dunia, Ini Perbandingannya Poin pertama menurut Hendra yang harus menjadi pertimbangan adalah pengkajian kembali terhadap beban-beban yang saat ini harus ditanggung oleh para penambang. Poin kedua, terkait dengan besaran tarif royalti minerba di Indonesia yang menurutnya sudah tidak kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain. "Kita udah tinggi banget sih (royalti) untuk berapa komoditas dibandingkan negara-negara lain. Sementara kan kita tadi ngomong kompetisi juga. Kita bukan penguasa tunggal nih," ungkap Hendra. Ia mencontohnya, untuk nikel misalnya Indonesia harus bersaing harga dan produksi dengan Filipina, ada South Africa, dan New Caledonia. "Jadi kita harus hitung juga kompetisi tarif gitu ya, kita masuk yang tinggi," tambahnya. Poin ketiga menurut Hendra berkaitan dengan penerimaan negara dari sektor minerba yang justru mengalami kenaikan sejak dua tahun terakhir. "Di 2023 naik 118 persen. 2024 naik 123 persen. Kok dinaikin lagi gitu ya? Kalau memang pemerintah butuh duit. Iya kan?," tanyanya.