Imbal Hasil Naik, SBN Masih Menarik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan global yang terjadi saat ini mendorong imbal hasil atau yield obligasi negara-negara di dunia meningkat, termasuk Indonesia.

Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Division HP Asset Management Reza Fahmi Riawan menunjukkan data, yield obligasi Amerika Serikat (AS) naik dari level 2% menjadi 4%.

Kemudian, yield obligasi negara Singapura naik dari level 1,6% menjadi 3,5%, Malaysia pun naik dari 3,5% menjadi 4,4%, serta yield obligasi Thailand naik dari 1,9% menjadi 3,04%.


Sementara bila menilik dalam negeri, yield surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun saat ini tercatat sekitar 7,42%. Bila dibandingkan dengan negara-negara tersebut, yield obligasi Indonesia memang nampak lebih tinggi.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, yield SBN masih menarik, meski memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Meski begitu, David tetap menyarankan ada upaya untuk menurunkan yield untuk lebih rendah lagi.

“Memang kita tetap perlu mencoba turunkan (yield) supaya lebih rendah lagi, agar lebih menarik,” terang David kepada Kontan.co.id, Selasa (18/10).

Baca Juga: BI Menggelar RDG hari ini, Indikator Moneter Rupiah, CDS dan Yield SBN Memerah

Untuk menjaga agar yield yang ditawarkan tetap menarik, pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah adalah menjaga likuiditas dan menjaga tingkat inflasi dalam negeri.

Ia memerinci, pemerintah perlu untuk menjaga likuiditas valas. Salah satunya, lewat kebijakan bawa pulang devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri. Pada tahun ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah mulai ketat mengimplementasikan bawa pulang DHE SDA dengan pengenaan sanksi.

“Harapannya, ini efektif untuk menambah likuiditas dalam negeri,” tambah David.

Selain menjaga likuiditas valas, otoritas juga perlu menjaga likuiditas rupiah. Dalam hal ini, ia mengingatkan porsi likuiditas rupiah tidak boleh berlebihan. Pada saat pandemi Covid-19, BI melakukan pelonggaran dengan menambah likuiditas di perbankan. Namun, dalam jangka panjang ini bukan hal yang baik.

“Kalau berlebihan likuiditas juga tidak baik. Bisa juga memengaruhi nilai tukar. Kalau sekarang, dengan pengurangan likuiditas yang dilakukan oleh BI dengan kenaikan GWM rupiah, likuiditas sudah mulai mendekati normal,” terangnya.

Dari sisi inflasi, menjaga inflasi bisa dilakukan lewat kebijakan moneter untuk menjaga permintaan serta kebijakan dari pemerintah dalam menjaga inflasi dari sisi penawaran.

Untuk menjangkar inflasi dari sisi permintaan, BI sudah menaikkan suku bunga acuan dengan total 75 basis poin (bps) pada Agustus 2022 dan September 2022. Dari sisi penawaran, pemerintah perlu memperhatikan pasokan terutama pangan dan juga kelancaran distribusi.

Baca Juga: Strategi Pemerintah Gunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk Sumber Pembiayaan APBN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat