Imbal Hasil Obligasi Indonesia Cukup Kompetitif, Saingannya India dan Filipina



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia diproyeksi masih akan menjadi salah satu destinasi favorit investasi asing. Optimisme pasar surat utang tanah air cukup tinggi mengingat inflasi yang terjaga dan imbal hasil yang menarik.

Head of Fixed Income BNI Sekuritas Amir Dalimunthe melihat, pasar obligasi Indonesia masih menarik di mata investor asing. Hal itu karena obligasi domestik memiliki kredit rating yang stabil dan menawarkan imbal hasil kompetitif.

Amir mengatakan, saat ini posisi kredit rating Indonesia masih cukup baik pada peringkat BBB dari tiga lembaga pemeringkat kredit dunia. Peringkat kredit ini dipandang faktor krusial bagi investor asing untuk memberikan kenyamanan berinvestasi.


Selain itu, Indonesia menawarkan imbal hasil obligasi yang kompetitif dibandingkan dengan negara berkembang lainnya (peers). Saat ini, mungkin hanya India dan Filipina yang setara dalam tingkat imbal hasil.

Baca Juga: Sepuluh Tahun Era Jokowi, Imbal Hasil Investasi Obligasi Tumbuh Signifikan

Pasar obligasi Indonesia sendiri dipandang lebih unggul daripada India dan Filipina karena pertimbangan utama investor asing adalah real yield differential yaitu yield yang sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi, kemudian dibandingkan dengan real yield Amerika Serikat (AS).

Adapun per 18 Oktober 2024, Local Currency Yield Curve (LCYC) atau kurva imbal hasil mata uang lokal untuk tenor 10 tahun Filipina di 5,74%, Indonesia di level 6.66%, sedangkan India di level 6.83%. Dari sisi tingkat inflasi, Filipina dan Indonesia tidak jauh berbeda masing-masing tingkat inflasi terakhhir di 1,90% dan 1,84%, sedangkan India inflasinya masih bergejolak yang berada di level 5,49%.

Berdasarkan LCYC dikurangi tingkat inflasi tersebut, maka diperoleh Local Currency Real Yield. Dengan demikian, praktis Indonesia memiliki LC Real Yield paling tinggi yakni 4,82% dibandingkan India maupun Filipina yang masing-masing 1,34% dan 3,84%.

Kemudian, apabila dibandingkan dengan pasar obligasi AS, Indonesia masih menawarkan imbal hasil rill yang cukup menarik. Dengan posisi real yield Amerika saat ini di 1,68% dan real yield local currency Indonesia sebesar 4,81%, maka real yield differential antara keduanya sebesar 3,14%.

"Kalau kita lihat sebetulnya pasar obligasi yang masih menarik yakni India, Indonesia dan Filipina. Jadi ketiga peers ini mungkin masih akan menarik potensi inflow asing," jelas Amir dalam Media Day BNI Sekuritas, Selasa (22/10).

Namun, Amir menilai bahwa capital gain yang bisa diraih dari investasi obligasi Indonesia mungkin baru terasa jelas perbedaannya di tahun 2025. Sebab, tahun ini baru masuk siklus awal pemangkasan suku bunga acuan yang berdampak pada tingkat yield.

Dengan asumsi pemotongan suku bunga Fed di sisa tahun ini sebesar 50 bps dan tahun depan sebesar 100 bps, maka yield SUN Tenor 10 Tahun diperkirakan bakal di posisi 6.4% di akhir 2024 dibandingkan posisi akhir 2023 sebesar 6,5%. Sedangkan di akhir tahun depan, yield obligasi Indonesia diperkirakan turun ke level 6.0%.

"Jadi penurunan yield tahun depan 0,4% akan menciptakan capital gain lebih besar dibandingkan tahun ini," imbuh Amir.

Baca Juga: Schroder Indonesia: Pasar Saham & Obligasi Tetap Optimis di Bawah Pemerintahan Baru

Oleh karena itu, BNI Sekuritas memandang bahwa pasar obligasi tanah air masih akan menawarkan tingkat pengembalian menarik di tahun 2025. Jika kondisi pasar terus membaik, mungkin akan ada lebih banyak ruang bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga obligasi.

Untuk memaksimalkan investasi obligasi, Amir menyebutkan bahwa investor perlu menerapkan strategi diversifikasi pada berbagai jatuh tempo dan peringkat kredit untuk menyeimbangkan risiko dan pengembalian. Dengan baru dimulainya suku bunga acuan, biasanya obligasi tenor pendek akan diuntungkan terlebih dahulu.

Manajemen aktif portofolio investasi juga perlu dilakukan untuk memanfaatkan titik masuk yang menarik. Selain itu, aktif mengelola portofolio sebagai antisipasi kondisi pasar yang masih diliputi ketidakpastian global seperti konflik geopolitik atau depresiasi mata uang.

Terakhir, Amir berpesan untuk tetap terus memantau sinyal dari kebijakan fiskal dan moneter. Misalnya seperti perubahan arah kebijakan suku bunga acuan, waktu pemangkasan suku bunga ataupun jumlah rencana penerbitan surat utang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih