Imbal hasil obligasi korporasi naik



JAKARTA. Keputusan Standard and Poor's (S&P) menurunkan outlook peringkat utang Indonesia dari positif menjadi stabil di pekan lalu, mendapat respon negatif di pasar obligasi korporasi. Apalagi, kemarin,  Moody's Investors Service juga mengeluarkan ancaman akan merevisi outlook utang Indonesia akibat penundaan kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, penundaan ini akan berpengaruh negatif bagi outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sentimen negatif  tersebut membuat yield obligasi korporasi di pasar sekunder mengalami kenaikan. Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat, pergerakan kurva obligasi korporasi sepanjang pekan lalu dari periode 29 April hingga 3 Mei 2013 meningkat. Yield rata-rata pada kurva obligasi dengan rating AAA naik sebesar 6,4 basis poin dibanding pekan sebelumnya.

Yield obligasi korporasi dengan rating A juga naik 2,2 basis poin, dan obligasi berperingkat BBB naik sebesar 6,2 basis poin. Hanya obligasi korporasi dengan rating AA yang mengalami penurunan yield sebesar 0,6 basis poin.


Adapun rata-rata volume perdagangan obligasi korporasi masih naik sebesar 53,3% dari Rp 397 milliar per hari menjadi Rp 609 milliar per hari pada periode yang sama. Meski volume perdagangan mengalami peningkatan, namun rata-rata total frekuensi perdagangan tercatat turun sebesar 5,9% dari 407 transaksi per hari menjadi 383 transaksi per hari.

Kupon bisa naik

Analis Danatama Millenium Asset Management, Desmon Silitonga menduga, harga obligasi korporasi di pasar sekunder bisa terseret turun sekitar 10 basis poin hingga 15 basis poin dalam jangka pendek akibat sentimen negatif pemangkasan outlook tersebut. "Namun nominalnya bisa berubah karena perdagangan obligasi korporasi di pasar sekunder tidak terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan surat utang negara (SUN)," kata Desmon, Senin (6/5).

Menurut Desmon, tekanan obligasi korporasi tidak akan sebesar obligasi pemerintah. Pasalnya, komposisi asing di obligasi korporasi relatif lebih kecil ketimbang di SUN. Selain itu, obligasi korporasi juga kurang likuid karena investor cenderung menggenggam instrumen ini hingga jatuh tempo (hold to maturity).

Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan obligasi pemerintah yang sangat likuid dan banyak dipegang oleh pemodal asing. Sehingga dampak penurunan outlook terhadap harga SUN di pasar sekunder akan lebih terasa dibandingkan obligasi korporasi. Jumat (3/5), kepemilikan dana asing di surat utang negara (SUN), turun tipis menjadi Rp 298,92 dibanding sehari sebelumnya yang sebesar Rp 299,66 triliun.

Tekanan harga SUN di pasar sekunder juga akan berimbas pada emisi obligasi korporasi anyar. Desmon memperkirakan, kupon obligasi korporasi yang akan terbit sekitar Juni atau Juli 2013 akan meningkat. "Namun saat ini kenaikan kupon belum signifikan," tutur Desmon.    

Budi Hikmat, Chief Economist and Director for Investor Relation Bahana TCW Investment Management memperkirakan, obligasi korporasi masih akan menarik bagi investor karena yield yang lebih tinggi ketimbang obligasi pemerintah. Namun, volume trading obligasi korporasi memang tidak terlalu besar karena holding period yang dilakukan investor lebih lama dibandingkan surat utang pemerintah.     

"Indonesia diuntungkan oleh kelebihan likuiditas global. Investor masih melihat prospek ekonomi Indonesia masih bagus," kata Budi.  n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini