Imbal hasil unitlink akan tergerus akibat beleid pajak baru?



JAKARTA. Industri asuransi harus berbenah. Lewat surat edaran baru, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mulai membenahi aturan yang berlaku di industri ini supaya tak kecolongan memungut pajak dari perusahaan asuransi.

Pada tanggal 28 Desember 2011, Ditjen Pajak menerbitkan Surat Edaran nomor 97/PJ/2011 yang menyebutkan, cadangan premi produk asuransi unitlink yang berasal dari penghasilan investasi tidak boleh lagi menjadi pengurang dalam penghitungan pajak penghasilan (PPh). Tujuan utama aturan ini adalah supaya aparat pajak bisa memilah penghasilan yang seharusnya terkena pajak dan pos yang bisa menjadi pengurang pajak.

Dalam surat edaran itu, Dirjen Pajak menegaskan, cadangan premi murni tetap tidak terkena pajak karena memang bukan objek pajak. Tapi, cadangan premi produk asuransi unitlink, yang berasal dari penghasilan investasi, tidak boleh lagi menjadi pengurang pajak.


"Meskipun berasal dari penghasilan investasi yang sudah terkena pajak final, seperti deposito, obligasi, reksadana, atau gain transaksi saham, cadangan premi itu tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak di perusahaan asuransi jiwa," sebut beleid tersebut.

Ketentuan baru ini tak pelak membuat nasabah unitlink cemas. Sebab, sempat muncul spekulasi bahwa surat edaran Ditjen Pajak itu akan membuat pertumbuhan imbal hasil produk asuransi berbalut investasi itu melambat.

Namun, sejatinya, nasabah unitlink tak perlu khawatir. Sebab, menurut para pakar, seharusnya aturan pengenaan pajak untuk pencadangan premi itu tidak memangkas imbal hasil yang diperoleh nasabah.

Simak penjelasan konsultan aktuaria sekaligus Financial Planner dari Shildt Financial Planning Risza Bambang. Risza menjelaskan, aturan tersebut hanya akan mempengaruhi sistem perhitungan pajak penghasilan di perusahaan asuransi yang selama ini belum seragam.

Namun, kata Risza, nasabah tidak perlu khawatir. Sebab, sebagian besar perusahaan asuransi sudah menerapkan sistem perhitungan pajak sesuai aturan yang berlaku. Meskipun, dia tidak menutup mata, masih ada perusahaan asuransi yang menyimpang dari aturan tersebut. "Sepertinya, kantor pajak mencurigai masih ada perusahaan asuransi yang pendapatannya lebih besar dari yang mereka laporkan selama ini," ujarnya.

Risza menduga, sebelum terbit surat edaran itu, masih ada perusahaan asuransi (pengelola unitlink) yang lolos dari kewajiban membayar pajak penghasilan. Risza menganalisis, ini terjadi lantaran saat melaporkan kewajiban pajaknya, perusahaan menghilangkan pos hasil investasi dari neraca pemasukan. Sementara, dalam neraca pengeluaran, hasil investasi tersebut tetap dicantumkan sebagai kenaikan premi pencadangan yang harus dibayarkan kepada nasabah.

Dengan sistem perhitungan seperti itu, terjadi ketimpangan. Saat sisi pemasukan dikurangi sisi pengeluaran, hasilnya minus. Alhasil, perusahaan itu bebas dari kewajiban pajak penghasilan. "Cara seperti itu tidak konsisten dan tidak fair. Dengan adanya beleid baru, sepertinya, Ditjen Pajak berharap perusahaan asuransi menerapkan pola pelaporan perhitungan pajak yang seragam," ujar Risza.

Lebih lanjut, dia bilang, kalau pun ada perusahaan asuransi yang baru akan menerapkan pola pelaporan pajak dengan menyertakan pencadangan predmi dalam perhitungan pajak, mereka tidak boleh membebankannya kepada nasabah. Sebab, nasabah sudah dikenai fee atau biaya pengelolaan investasi.

"Seharusnya, perusahaan tidak mengutak-atik rezeki nasabah hanya karena kewajiban pajak ini," tegasnya. Apalagi, hasil investasi unitlink ia perkirakan bakal selalu lebih besar ketimbang biaya operasional yang harus dikeluarkan perusahaan asuransi.

Para pengelola asuransi sendiri tampaknya masih mencoba mencerna ketentuan baru tersebut. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI)sebagai pengelola usaha asuransi jiwa berencana mengklarifikasi langsung kepada Ditjen Pajak. Mereka ingin mendapat kepastian alasan di balik penerbitan beleid itu.

Pengawasan marked to market kurang

Namun, Risza mengingatkan, masih ada risiko manipulasi penyajian hasil investasi untuk para nasabah unitlink. Ini terjadi sebagai akibat pengawasan regulator asuransi yang tidak ketat. Perusahaan asuransi, mungkin saja, memanipulasi besaran hasil investasi sebagai konsekuensi untuk menutupi kewajiban pajaknya.

Perusahaan asuransi cukup leluasa melakukan praktik haram itu karena regulator asuransi tidak mengawasi ketat besaran hasil investasi yang diperoleh pengelola unitlink. “Pengawasan terhadap transparansi penerapan marked to market di unitlink diragukan," tegasnya.

Lebih lanjut, Risza menilai, sejauh ini, ada ketidakadilan pengawasan investasi antara produk unitlink dan produk investasi lain. Misalnya, pada produk reksadana, pengawasan marked to market sangat ketat. Pengelola reksadana wajib memaparkan nilai wajar unit investasi kelolaannya. Nilai investasi itu pun harus sesuai dengan harga pasar atau marked to market.

Sedangkan, pada unitlink, tidak ada kewajiban seperti itu sehingga produk unitlink menjadi kurang transparan.

Tentu saja, masyarakat berharap, pemerintah membenahi secara menyeluruh industri unitlink yang saat ini masih masuk wilayah abu-abu. Bukan cuma aturan pajaknya, tapi juga mekanisme pengawasan produk hibrida ini. Apalagi, duit yang berputar di produk baru ini sudah sangat besar. Jumlah nasabahnya juga sangat banyak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini