JAKARTA. Di tengah krisis, masih tetap ada peluang. Kali ini, peluang itu datang dari Amerika Serikat (AS). Sejak laju ekonomi melambat, warga AS rajin berhemat termasuk dalam berbelanja makanan. Sebelum krisis, warga AS royal dan lebih banyak mengonsumsi udang kelas satu ukuran 50 ekor per kilogram (kg) atau filial 1 (F1). Kini, mereka rela mengonsumsi udang kelas dua (F2) yang berukuran 70 ekor per kg. "Karena daya beli menurun, sekarang orang Amerika dan Eropa mencari ukuran udang lebih kecil," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Made L. Nurdjana, akhir pekan lalu. Tanda-tanda itu sudah terlihat pada kenaikan permintaan udang kelas dua dari AS dan Eropa sejak November 2008. Tapi, DKP masih menghitung kenaikan permintaan itu. Made memperkirakan, akibat perubahan pola konsumsi itu, porsi ekspor udang F2 ke AS akan menjadi 60% dari total ekspor udang dari Indonesia ke negeri itu. Awalnya, komposisi ekspor udang F2 cuma 40% dari total ekspor, sisanya udang kelas satu. DKP mencatat, saat ini ekspor udang kita ke AS rata-rata mencapai 60.000 ton per tahun, 38% dari total ekspor udang Indonesia yang sebanyak 160.000 ton setahun. Alhasil, AS menjadi konsumen terbesar udang Indonesia, disusul Jepang dan Eropa. Melonjaknya permintaan udang kelas dua ini bisa menjadi peluang bagi petambak tradisional yang selama ini banyak membudidayakan udang kelas dua. Apalagi, laba budidaya udang F2 terbilang besar. Harga jualnya sekitar Rp 33.000 per kg, sedang biaya produksinya Rp 23.000 per kg. "Jadi, keuntungannya bisa Rp 10.000 per kg," kata Made. Selain itu, udang kelas dua juga lebih tahan penyakit ketimbang udang kelas satu. Made bilang, daya tahan yang lebih tinggi ini membuat petambak bisa meningkatkan produksi lebih besar lagi. Ketua Umum Komisi Udang Nasional Sidiq Moeslim mengakui, tren masyarakat dunia dalam mengkonsumsi udang memang telah bergeser. Mereka kini lebih meminati udang ukuran kecil. "Bagi petambak, ini pasti menguntungkan. Panennya bisa empat kali setahun," tuturnya. Namun, peluang yang terbuka ini bukannya tanpa risiko. Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengingatkan, keinginan pemerintah mendorong petambak memproduksi udang kecil bisa menjadi bumerang. "Kalau semua petambak memproduksi udang ukuran kecil, akibatnya tahun ini pasokan bisa berlebih. Akhirnya, petambak merugi," katanya. Iwan mengimbau agar petambak cermat membaca situasi pasar. Sehingga, mereka bisa mengantisipasi efek buruk kelebihan pasokan itu. "Jangan sampai kemudian petambak memanen udang berukuran kecil semua. Seimbang saja. Kalau pasarnya lagi bagus, lepas ukuran kecil 60% saja," ungkapnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Imbas Krisis, Permintaan Udang Kelas Dua dari AS Naik
JAKARTA. Di tengah krisis, masih tetap ada peluang. Kali ini, peluang itu datang dari Amerika Serikat (AS). Sejak laju ekonomi melambat, warga AS rajin berhemat termasuk dalam berbelanja makanan. Sebelum krisis, warga AS royal dan lebih banyak mengonsumsi udang kelas satu ukuran 50 ekor per kilogram (kg) atau filial 1 (F1). Kini, mereka rela mengonsumsi udang kelas dua (F2) yang berukuran 70 ekor per kg. "Karena daya beli menurun, sekarang orang Amerika dan Eropa mencari ukuran udang lebih kecil," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Made L. Nurdjana, akhir pekan lalu. Tanda-tanda itu sudah terlihat pada kenaikan permintaan udang kelas dua dari AS dan Eropa sejak November 2008. Tapi, DKP masih menghitung kenaikan permintaan itu. Made memperkirakan, akibat perubahan pola konsumsi itu, porsi ekspor udang F2 ke AS akan menjadi 60% dari total ekspor udang dari Indonesia ke negeri itu. Awalnya, komposisi ekspor udang F2 cuma 40% dari total ekspor, sisanya udang kelas satu. DKP mencatat, saat ini ekspor udang kita ke AS rata-rata mencapai 60.000 ton per tahun, 38% dari total ekspor udang Indonesia yang sebanyak 160.000 ton setahun. Alhasil, AS menjadi konsumen terbesar udang Indonesia, disusul Jepang dan Eropa. Melonjaknya permintaan udang kelas dua ini bisa menjadi peluang bagi petambak tradisional yang selama ini banyak membudidayakan udang kelas dua. Apalagi, laba budidaya udang F2 terbilang besar. Harga jualnya sekitar Rp 33.000 per kg, sedang biaya produksinya Rp 23.000 per kg. "Jadi, keuntungannya bisa Rp 10.000 per kg," kata Made. Selain itu, udang kelas dua juga lebih tahan penyakit ketimbang udang kelas satu. Made bilang, daya tahan yang lebih tinggi ini membuat petambak bisa meningkatkan produksi lebih besar lagi. Ketua Umum Komisi Udang Nasional Sidiq Moeslim mengakui, tren masyarakat dunia dalam mengkonsumsi udang memang telah bergeser. Mereka kini lebih meminati udang ukuran kecil. "Bagi petambak, ini pasti menguntungkan. Panennya bisa empat kali setahun," tuturnya. Namun, peluang yang terbuka ini bukannya tanpa risiko. Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengingatkan, keinginan pemerintah mendorong petambak memproduksi udang kecil bisa menjadi bumerang. "Kalau semua petambak memproduksi udang ukuran kecil, akibatnya tahun ini pasokan bisa berlebih. Akhirnya, petambak merugi," katanya. Iwan mengimbau agar petambak cermat membaca situasi pasar. Sehingga, mereka bisa mengantisipasi efek buruk kelebihan pasokan itu. "Jangan sampai kemudian petambak memanen udang berukuran kecil semua. Seimbang saja. Kalau pasarnya lagi bagus, lepas ukuran kecil 60% saja," ungkapnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News