Imbas Migrasi Dana Asing ke Tiongkok, IHSG Ambles dan Saham Blue Chip Rontok



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terus tertekan akibat hengkangnya dana asing. Hari ini, Selasa (10/1), IHSG ditutup ambles 0,96% ke posisi 6.622,5. 

Bahkan IHSG sempat menyentuh ke level 6.570,24. Tekanan pada indeks komposit ini datang dari asing investor asing yang melego saham-saham blue chip, terutama perbankan. 

Berdasarkan data RTI, investor asing mencatat net sell terbesar pada BBCA senilai Rp 225,3 miliar. Alhasil, saham milik Duo Hartono ini tersungkur 3,25% ke posisi Rp 8.175 per saham. 


Kemudian ada BBRI dengan net sell Rp 200,1 miliar. Investor asing juga mencatatkan jual bersih pada BMRI senilai Rp 187 miliar, INDF Rp 48,9 miliar dan BBNI Rp 45,9 miliar. 

Baca Juga: IHSG Anjlok ke 6.622 Hari Ini (10/1), BBCA, BBRI, BMRI Paling Banyak Net Sell Asing

Head of Equity Research Mandiri Sekuritas Adrian Joezer menuturkan penurunan ini salah satunya disebabkan oleh profit taking oleh investor asing. 

"Investor asing melakukan profit taking karena memang dari sisi pertumbuhan EPS mengalami perlambatan di 2023," kata Adrian, Selasa (10/1). 

Adrian memproyeksikan earning per share (EPS) akan turun. Hal ini dipengaruhi oleh melandainya harga saham perusahaan komoditas, termasuk batubara.

Mandiri Sekuritas memproyeksikan EPS pada IHSG secara tahunan tumbuh 1,6%. Nilai itu lebih rendah dari pertumbuhan EPS di 2022 sebesar 56,7%. 

Baca Juga: Saham Bank Kelas Kakap Jadi Pemberat IHSG Hari Ini, Selasa (10/1)

Selain itu, aksi profit taking ini juga seiringan dengan adanya migrasi dana asing ke pasar saham lain yang lebih murah, terutama Tiongkok. Apalagi Tiongkok telah membuka kembali pintu negaranya. 

Mandiri Sekuritas memprediksi price to earning ratio (PE) indeks Tiongkok mencapai 11,3 kali pada akhir 2023. Sementara PE IHSG di akhir tahun ini mencapai 14,2 kali. 

Namun, Adrian bilang risiko terhadap pelemahan pertumbuhan laba bersih sudah priced in oleh pasar. Saat ini IHSG sudah bisa sejalan dengan Malaysia dan Filipina, tapi masih kalah dengan Tiongkok. 

"Ada shifting ke Tiongkok karena lebih murah valuasinya dan dari sisi pertumbuhannya mengalami akselerasi. Tiongkok mengalami re-opening seperti yang Indonesia di 2021 dan 202," imbuh Adrian. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati