Imbas RCEP, APKI: Persaingan Industri Pulp and Paper dengan China Tidak Seimbang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengungkapkan dampak dari penerapan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada kinerja ekspor produk Pulp dan Kertas terutama ke China. Untuk diketahui, RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas yang telah diberlakukan sejak 1 Januari 2023, dengan melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN termasuk Indonesia dengan dan enam negara mitranya yaitu China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan India. Ketua Umum APKI, Liana Bratasida mengatakan, akibat RCEP produk kertas dari Tiongkok dapat masuk ke Indonesia dengan tarif pajak yang lebih rendah. Sebaliknya, untuk produk yang sama, pajak yang dikenakan kepada produk Indonesia yang diekspor ke China jauh lebih besar.

Baca Juga: Begini Efek Penguatan Rupiah Bagi Industri Manufaktur "Misalnya soal RCEP ya, kalau barang kertas Tiongkok ke Indonesia itu bisa 0%, 3% atau 5% pajaknya. Tapi  kalau kita dengan barang yang sama ke Tiongkok itu bisa 5-7,5% bagaimana mau bersaing?" ungkapnya saat ditemui Kontan.co.id, Rabu (20/08). Meski peraturan ini memberatkan sehingga membentuk persaingan yang tidak seimbang. Liana mengatakan bahwa tidak ada jalan lain kecuali mengikuti ketentuan yang berlaku. Langkah lanjutan yang sedang dicoba dilakukan oleh APKI adalah dengan perundingan bilateral dengan China.

"Itu kan sudah ditandatangan sejak Januari 2023, lalu kita mau nyalahin siapa? Kan sudah terjadi, kita hadapai caranya bagaimana? Ya melalui perundingan, apakah itu melalui Asian-China Agreement, atau melalui perundingan Bilateral.  karena China-nya juga membuka opsi ya sudah kita bicara saja berdua," ungkapnya. Sebagai tambahan informasi, kapasitas produksi kertas China sepanjang 2022 telah mencapai 255 juta ton per tahun. Sedangkan berdasarkan data terbaru APKI, kapasitas produksi kertas Indonesia tahun 2023  adalah sebanyak 21,19 juta ton. Meski harus menghadapi persaingan akibat RCEP, Liana mengakui China juga merupakan salah satu negara tujuan ekspor pulp dan kertas terbesar dibandingkan negara-negara Asia lainnya. "Dimana pada 2023 total nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$2,6 miliar untuk pulp dan US$502 juta untuk produk kertas," ungkap Liana. Ia bahkan mengakui produksi kertas China tersebut didukung oleh adanya teknologi yang maju serta dukungan dari pemerintah China. "Kapasitas (produksi) besar sekali sehingga produk yang dia (China) dijual di dalam negerinya sendiri tapi masih kelebihan, dijual lagi ke luar, kemana-mana. Jadi proses produksi, teknologi itu sudah dia kuasai semua. Untuk hal-hal yang mungkin belum cocok, maka ada peluang-peluang diskusi atau perundingan. Mereka sendiri (China) membuka peluang itu," jelasnya. Liana juga mengungkap bahwa Indonesia dapat menjadi tempat berinvestasi China, termasuk di sektor industri kertas dan pulp. Namun, pemerintah Indonesia ungkap dia juga harus bisa menyediakan ekosistem bisnis yang kondusif. "Iya (investasi), tapi iklim investasi harus kondusif, tenaga kerja, upahnya, jangan ada demo-demo misalnya, jadi pengin tenang. Karena dia (China) sekarang lebih banyak (investasi) dibandingkan ke Indonesia terutama untuk kertas ya, itu ke Vietnam dan Thailand," jelasnya. Adapun, sepanjang 2023, APKI mencatat Indonesia telah  memiliki 112 industri pulp dan kertas dengan total kapasitas produksi 11,45 juta ton pulp dan 21,19 juta ton kertas. Meski harus melakukan perundingan lebih lanjut dengan China agar mendapatkan persaingan yang seimbang, industri pulp dan kertas Indonesia tercatat berkontribusi signifikan terhadap PDB nonmigas sebesar 4,63% pada tahun 2023, serta menghasilkan devisa sebesar US$8,28 miliar. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan konstribusi industri ini terhadap PDB nonmigas sebesar 3,84% pada tahun 2021, serta menghasilkan devisa sebesar US$7,5 miliar. 


Baca Juga: AGI dan Perusahaan Digital Sepakat QRIS Berperan Kuat Majukan Industri Game

Imbas RCEP, APKI: Persaingan industri pulp and peper dengan China Jadi Tidak Seimbang 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati