KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) menilai dalam rangka memperkuat efektivitas dan akuntabilitas, semestinya Kementerian ESDM dipecah menjadi dua, yaitu Kementerian Energi dan Kementerian Sumber Daya Mineral dan Batubara. Ketua IMEF Singgih Widagdo menjelaskan, sektor energi dan mineral batubara bergerak dinamis sesuai dengan perubahan tren bisnis yang ada. Sejalan dengan itu, tata kelola pertambangan harus mengikuti perkembangan yang ada. Setelah adanya kebijakan baru di mana seluruh perizinan terkait minerba ditarik ke pusat, Singgih menilai, banyak pekerjaan tarkait law enforcement yang melekat dalam pengelolaan industri pertambangan.
“Mengelola ribuan perizinan dengan memperhatikan dampaknya pada lingkungan dan sensitif pada pendapatan negara, tentu ini bukan pekerjaan yang mudah bagi Kementerian ESDM,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (21/8). Baca Juga: Pemerintah Revisi Formula Harga Batubara Acuan (HBA), Ini Rinciannya Maka itu, untuk memperkuat efektivitas dan akuntabilitas, IMEF mengusulkan, Kementerian ESDM dibagi menjadi dua. Diharapkan, proses birokrasi bisa berjalan lebih lancar. “Dengan memecah jadi dua, dapat memperkuat tujuan birokrasi Kementerian agar lebih efisien dan efektif, pelaksanaan kebijakan publik lebih fokus, pengawasan, regulasi, dan pelayanan publik menjadi cepat,” ujarnya. Sejatinya, cara ini sudah dilakukan di India yang memisahkan antara Kementerian Batubara dan Tambang dengan Kementerian Pembangkit dan Energi Baru Terbarukan (EBT). Usulan yang disampaikan IMEF ini juga mempertimbangkan berbagai persoalan yang terjadi saat ini. Di industri pertambangan, selain kompleksitas terkait perizinan, menjamurnya kasus pertambangan ilegal juga menjadi tantangan berat. Menurutnya politisasi sektor pertambangan masih terjadi. Demikian juga keberadaan pelaku-pelaku usaha pertambangan hitam yang berani menjungkirbalikkan aturan yang ada, oknum politisi yang bermain dalam bisnis pertambangan. “Kemudian adanya mafia tambang, serta keterlibatan oknum aparat keamanan menjadi beking yang membuat penegakan hukum dan regulasi di sektor pertambangan tidak efektif dilaksanakan,” terangnya. Pada sektor hilirisasi mineral, IMEF menilai, saat ini pengolahan mineral menjadi produk bernilai tambah masih belum optimal di sejumlah jenis bahan galian. Salah satunya sektor bauksit. Singgih menjelaskan, relaksasi ekspor bijih bauksit yang seharusnya diikuti dengan pembangunan refinery, tidak terjadi sebagaimana direncakan. Baru-baru ini pemerintah melakukan moratorium ekspor bijih bauksit, meski fasilitas pemurnian dan pengolahannya terlambat dibangun. Padahal persoalan hilirisasi tidak hanya berpikir mengenai kondisi di hulu saja, tetapi pemerintah juga harus memikirkan rantai pasok ke hilir sehingga arah investasi pada kegiatan eksplorasi menjadi lebih jelas. Baca Juga: Pemerintah Ubah Formula HBA, Pengusaha: Makin Mendekati Harga Pasar