IMF Menggunting Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2023, Bahkan Bisa Di Bawah 2%



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 global dari sebelumnya 2,9% menjadi 2,7%. Pertumbuhan ekonomi global tersebut bahkan diperkirakan bisa di bawah 2% pada tahun depan. 

IMF dalam laporan yang berjudul World Economic Outlook (WEO) Countering the Cost-of-Living Crisis Edisi Oktober 2022 yang dirilis pada Selasa (11/10) menyebutkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun depan menunjukkan profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali pada masa krisis keuangan global dan fase akut pandemi Covid-19. 

"Lebih dari sepertiga ekonomi global akan terkontraksi tahun ini atau tahun depan, sementara tiga ekonomi terbesar Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan China akan terus terhenti. Yang terburuk di 2023, akan banyak negara terasa seperti resesi," tulis IMF dalam laporan, Rabu (12/10). 


Baca Juga: IMF Memangkas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2023 Jadi 5%

IMF juga meyakini ada 25% kemungkinan pertumbuhan ekonomi global di 2023 akan turun ke bawah 2%. Perkiraan tersebut bisa terjadi akibat tekanan geopolitik Rusia dan Ukraina terus memanas, inflasi terus melonjak, dan ekonomi China terus melambat, hingga gangguan rantai pasok akibat pandemi Covid-19. 

Pertumbuhan ekonomi global di bawah 2% tersebut sempat terjadi lima kali, yakni pada 1973, 1981, 1982, 2009, dan 2020. Akan tetapi, tanpa ada perkiraan risiko di atas, proyeksi pertumbuhan ekonomi global akan sebesar 2,7%.

 Baca Juga: Risiko Resesi Global di Depan Mata, Bagaimana Ketahanan Ekonomi Indonesia?

IMF memperkirakan lonjakan inflasi akan mencapai puncaknya pada tahun ini yang diperkirakan akan sebesar 8,8%, kemudian diperkirakan turun menjadi 6,5% pada tahun depan. 

Meski begitu, inflasi yang tetap tinggi masih akan bertahan lama. IMF memperkirakan inflasi baru mereda pada 2024 yang diperkirakan mencapai 4,1%. 

Kemudian, fragmentasi geopolitik juga dapat menghambat perdagangan dan arus modal, serta lebih jauh bisa menghambat kerja sama terkait kebijakan iklim.

Editor: Wahyu T.Rahmawati