KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan larangan ekspor nikel mendapat perhatian dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dewan Eksekutif IMF menyarankan, Pemerintah Indonesia mencabut larangan ekspor nikel secara bertahap. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan, permintaan tersebut tidak mengikat dan tidak memiliki dasar hukum. Maka Indonesia juga dinilai tidak memiliki kewajiban dalam mematuhi permintaan dari IMF atau aturan negara lain sebagai negara berdaulat.
Baca Juga: Ini Alasan Bahlil Lega Indonesia Tidak Punya Utang IMF "
First of all, permintaan IMF sifatnya hanya tidak mengikat dan tidak punya dasar hukum apa pun. Indonesia sebagai
sovereign country juga tidak punya kewajiban atau
covenant agreement apa pun untuk mematuhi permintaan IMF atau aturan negara lain, pun bila WTO akhirnya memutuskan dalam
appelate body bahwa kebijakan larangan nikel ini tidak sejalan dengan komitmen kita di WTO," jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (2/7). Maka Shinta mengatakan, atas permintaan IMF tersebut menjadi diskresi penuh dari pemerintah Indonesia ingin menanggapinya seperti apa. Dimana apakah menghilangkan kebijakan larangan ekspor tersebut sesuai permintaan tersebut atau tidak. Kemudian terkait investor asing akankah terganggu dengan larangan ekspor bijih nikel, Shinta menjelaskan untuk investor asing yang menanamkan modal di Indonesia, khususnya pada investasi smelter, baja, baterai, investor ekosistem
electric vehicle (EV), dan lain justru akan diuntungkan. "Kami bisa katakan bahwa mereka sedikit banyak diuntungkan oleh kebijakan larangan ekspor nikel. Karena kebijakan tersebut sangat menjamin ketersediaan supply atas nikel terhadap industri mereka yang ada di dalam negeri," kata Shinta. Apabila kebijakan larangan ekspor nikel dicabut, menurutnya para investor asing yang sudah menanamkan modalnya di Indonesia justru akan mempertanyakan apa rencana Indonesia untuk memastikan kelancaran dan kecukupan
supply nikel untuk investasi mereka di Indonesia. Adapun investor asing yang berkeberatan dengan kebijakan larangan ekspor nikel justru umumnya adalah investor atau pelaku usaha asing yang tidak memiliki basis produksi di Indonesia, tetapi membutuhkan
supply nikel mentah dari Indonesia untuk menjalankan kegiatan industrinya di luar negeri. Shinta mengatakan, menjadi masalah dalam kebijakan larangan ekspor nikel oleh IMF dan WTO adalah bentuk restriksinya terhadap kebebasan berdagang.
Baca Juga: Soal Larangan Ekspor Komoditas, Menteri Bahlil Minta IMF Tak Intervensi Indonesia Meskipun memiliki kepentingan untuk menjaga atau mengutamakan
supply nikel di dalam negeri, Indonesia diharapkan dapat menggunakan instrumen kebijakan lain yang sifatnya tidak se-restriktif kebijakan
export ban.
"Karena itu, idealnya pemerintah melakukan RIA (
regulatory impact assessment) terkait dengan
cost-benefit kebijakan larangan ekspor nikel ini (bagaimana
cost-benefitnya bila kebijakan ini hilang vs bila tetap dipertahankan). Bila direlaksasi atau dilepas sepenuhnya, perlu dikaji dan distrategikan juga bagaimana kita menjamin supply nikel yang bersaing (dari segi volume, kualitas dan harga) bagi industri di dalam negeri yang sudah direalisasikan karena diuntungkan oleh kebijakan larangan ekspor nikel. Jangan sampai relaksasi kebijakan larangan ekspor ini nanti akan mengganggu investasi pengolahan nikel yang ada dan sudah berjalan di dalam negeri," jelasnya. Selain itu, Ia menambahkan, pada saat yang sama Indonesia juga perlu memikirkan terkait dengan
sustainability aktifitas ekstraksi/pertambangan nikel. Pasalnya, meskipun cadangan nikel Indonesia terbesar di dunia, tidak berarti cadangan nikel yang dimiliki tidak terbatas dan tidak akan habis. "Indonesia dan dunia perlu menyadari bahwa
supply nikel global tidak hanya berasal dari Indonesia dan Indonesia juga punya kepentingan untuk memastikan cadangan nikel ini bisa relatif
long-lasting dan cukup
sustainable untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di masa mendatang," paparnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto