IMI: Pasar dan harga nikel, timah, seng akan terus tumbuh sepanjang tahun ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca dagang Indonesia kembali mencatatkan surplus, yakni sebesar US$ 540,2 juta pada Maret 2019. Tren positif tersebut diungkit oleh naiknya nilai ekspor non-migas, dimana sektor pertambangan berkontribusi sebesar 15,71% terhadap struktur nilai ekspor Indonesia sepanjang Januari-Maret 2019.

Dengan porsi tersebut, kenaikan harga sejumlah komoditas pertambangan seperti nikel, timah dan seng telah mendorong surplus neraca dagang. Adapun, terhadap komoditas pertambangan mineral tersebut, Indonesian Mining Institute (IMI) menilai ketiganya akan terus mencatatkan tren positif di sepanjang tahun ini.

Ketua IMI Irwandy Arif mengungkapkan, berdasarkan pergerakan harga commodity metals price index, harga komoditas mineral tersebut mengalami tren kenaikan dalam tiga bulan terakhir.


"Pertumbuhan di awal tahun 2019 ini menunjukkan signal positif, khususnya untuk harga ketiga komoditas tersebut," ujar Irwandy kepada Kontan.co.id, Minggu (21/4).

Irwandy menjelaskan, harga rata-rata nikel dan seng terus bertumbuh selama periode tahun 2016-2018. Meski secara pergerakan harga, rata-rata harga nikel pada kuartal I-2019 menunjukkan pelemahan, namun harga nikel telah lebih dulu bertumbuh sebesar 6,35% pada awal Januari 2019.

Harga nikel pada Desember 2018 berada di angka US$ 10.835 per metrik ton, lalu naik menjadi US$ 11.523 per metrik ton pada Januari 2019. Harga komoditas ini pun kembali bertumbuh sebulan kemudian menjadi US$ 12.685 per metrik ton, dan kembali mencatatkan kenaikan ke angka US$ 13.026 pr metrik ton pada Maret 2019.

Sementara itu, harga seng mengalami pertumbuhan pada bulan Februari dan Maret 2019 sebesar 5,35% da 5,3% setelah sempat mengalami penurunan di awal tahun 2019. Per Maret 2019, harga seng berada di angka US$ 2.850 per metrik ton setelah sebulan sebelumnya bertengger di angka US$ 2.707 per metrik ton.

Sedangkan untuk harga timah, sambung Irwandy, jika dibandingkan dengan kuartal I tahun lalu, harga timah telah bertumbuh 1% pada kuartal I tahun ini. "Pada bulan Maret 2019 harga timah mencapai US$ 21.393 per metrik ton," terangnya.

Irwandy memprediksi, kinerja positif itu akan mendorong peningkatan produksi komoditas di Indonesia di sepanjang tahun ini. "Namun hal tersebut sangat berkaitan dengan kondisi pasar yang dipengaruhi supply dan demand sepanjang tahun 2019," imbuhnya.

Irwandy memprediksi, meski akan mengalami pelambatan, namun pasar komoditas tetap akan ada pada tren positif seiring adanya permintaan dari emerging market dan negara maju. Hanya saja, Irwandy menilai kondisi global pada tahun ini masih kurang ramah bagi komoditas Indonesia.

Sebabnya, jika pada tahun lalu Indonesia mendapatkan ancaman dari sisi pasar keuangan (financial channel), maka pada tahun ini ancaman bisa datang dari sisi perdagangan (trade channel). Dalam hal ini, perang dagang antara AS dan China tetap akan menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kondisi pasar Indonesia.

Menurut Irwandy, pertumbuhan ekonomi AS dan China yang juga diprediksi mengalami perlambatan pada tahun ini akan mempengaruhi kegiatan ekspor komoditas Indonesia. Apalagi, sampai saat ini Indonesia masih mengandalkan kegiatan ekspornya, dimana China menjadi salah satu pasar ekspor terbesar komoditas Indonesia.

Karenanya, diperlukan strategi kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap faktor eksternal tersebut. Utamanya dengan melakukan diversifikasi pasar dan juga peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi dan juga penyerapan pasar dalam negeri.

"Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk mulai mencari pasar lainnya. Juga kebijakan pemerintah untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral dalam negeri dan penyediaan pasar dalam negeri," tandas Irwandy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .