Imparsial: Hentikan pembahasan RUU wajib militer



JAKARTA. Direktur Program Imparsial, Al A'raf, mendesak DPR dan Pemerintah segera menghentikan pembahasan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Sebab, RUU tersebut dinilai tidak memiliki urgensi bagi kebutuhan Indonesia saat ini. Menurut Al A'raf, keberadaan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara memunculkan persepsi publik, bahwa ke depannya akan dibuat ketentuan wajib militer.

Meskipun pemerintah sudah membantahnya, persepsi publik sulit untuk dimentahkan kembali. "Masalahnya, dalam ketentuan RUU tersebut, ada ketentuan sanksi pidana penjara 1 tahun bagi PNS, buruh maupun pekerja swasta lain yang menolak menjalani wajib militer," kata Al A'raf. Selain itu, lanjut dia, model wajib militer di berbagai belahan dunia sudah ditinggalkan. Ia mencontohkan Eropa, yang saat ini fokus untuk mengembangkan teknologi alat utama sistem persenjataan (alusista) daripada menambah jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi tentara. Kalaupun ada negara yang masih memberlakukan wajib militer bagi seluruh warga sipil, biasanya itu terjadi pada negara yang mengalami konflik berkepanjangan dengan negara tetangganya.

Contoh, wajib militer di Korea Selatan yang menghadapi ancaman serius dari Korea Utara. Begitu pula dengan wajib militer India yang menghadapi ancaman terus menerus dari Pakistan. Selain itu, Israel yang memberlakukan wajib militer karena menghadapi ancaman dari negara-negara Timur Tengah. "Jadi, ini terjadi hanya di negara yang memiliki ancaman nyata," kata Al A'raf. Oleh sebab itu, Al A'raf meminta DPR dan Pemerintah segera menghentikan pembahasan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara.


Menurutnya, RUU ini menjadi tidak urgen dalam konteks negara Indonesia modern. "Mengingat anggaran pertahanan Indonesia yang masih minim, mestinya ini diprioritaskan untuk memperkuat komponen utama, yaitu TNI. Apalagi alusista TNI masih amat minim," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan