Impor Bioetanol Belum Jadi Opsi Pemerintah Jaga Pasokan Bahan Baku Jangka Panjang



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis bioetanol secara masif di Indonesia masih membutuhkan waktu lama. Kepastian pasokan bahan baku bahan jangka panjang dan berkelanjutan menjadi satu persoalan yang masih dicarikan solusinya. 

Dirjen Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyatakan, pencampuran etanol untuk seluruh jenis BBM masih lama diterapkan karena rantai pasok bahan bakunya belum siap. 

“Etanolnya ini kita belum siap rantai pasoknya di hulu. Jadi menurut saya tidak bisa cepat seperti biodiesel karena kalau harus impor akan tambah biaya dan tinggi harganya,” ujar Tutuka ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (12/2). 


Menurutnya sejauh ini BBM campuran etanol masih terus diuji coba secara teknis dan komersial. Sehingga penerapan masif masih memerlukan waktu. 

Baca Juga: Mekanisme Besaran Ongkos Angkut Penyaluran Biodiesel Diubah

Satu kunci penting dalam pengembangan BBM campuran etanol ialah pasokan bahan baku yang berkelanjutan dan tidak mengganggu suplai untuk kebutuhan lainnya semisal tebu untuk pangan. 

Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo menjelaskan ketersediaan fuel grade ethanol (FGE) nasional saat ini baru sejumlah 40 kilo liter per-tahun. Masih jauh untuk memenuhi kebutuhan pencampuran bioetanol (E5) secara nasional. 

Berdasarkan peta jalan pengembangan bioetanol berbasis tebu, diperkirakan pada tahun 2026 ketersediaan FGE akan semakin meningkat menjadi 623.000 kL per tahun. 

Sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan BBN, pemerintah akan meningkatkan ketersediaan bioetanol melalui Perpres No. 40 tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel), di mana ditargetkan pada tahun 2030 akan tersedia FGE sebesar 1.2 juta kL. 

“Namun jumlah ini pun belum mencukupi untuk pencampuran E5 dengan semua jenis gasoline,” ujarnya saat dihubungi terpisah. 

Namun, pencampuran etanol secara masif ke BBM diakui Edi tetap  mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan penerimaan masyarakat. 

Mengingat Pemerintah belum berencana untuk memberikan subsidi atas kenaikan harga bensin akibat dicampurkannya bioetanol ke dalam bensin. Dalam kondisi normal, harga bioetanol lebih tinggi dari harga bensin.

Demi memenuhi kebutuhan ini, PT Pertamina New & Renewable Energy (RNE) berencana  menjajaki akuisisi pabrik bioetanol di negara yang sudah lebih unggul mengembangkan BBN ini, salah satunya Brasil. 

Baca Juga: Kementerian ESDM Ubah Mekanisme Penentuan Besaran Maksimal Ongkos Angkut Biodiesel

Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Pertamina NRE, Fadli Rahman mengakui sudah melakukan penjajakan ke sejumlah negara, tidak hanya Brasil. 

“Tetapi memang kami jajaki ke negara yang punya suplai bioetanol yang banyak,” ujarnya ketika dikonfirmasi beberapa waktu lalu. 

Fadli menegaskan, opsi akuisisi pabrik bioetanol di luar negeri ini juga bersamaan dengan mempelajari risikonya. Tentu eksekusinya nanti tergantung hasil kajian tersebut. 

Meski begitu, Kementerian ESDM belum memberikan lampu hijau untuk Pertamina mengeksekusi Bring the Bioethanol Back Home selayaknya program hulu migas Bring the Barrel Back Home. 

Menurut Edi, lebih baik Pertamina turut berinvestasi dalam pengembangan bioetanol di dalam negeri daripada mengakuisisi pabrik bioetanol di luar negeri. Seperti yang saat ini sedang dilakukan pengembangan sweet sorghum dan nipah untuk menghasilkan bioetanol.

“Bioetanol berbeda dengan migas, di mana cadangan migas terbatas, sehingga akuisisi Pertamina atas blok lain di luar negeri untuk hasilnya dibawa ke Indonesia, dapat diterima.

Hal ini berbeda dengan bioetanol, yang bersifat terbarukan dan bersumber dari bahan nabati, masih dapat diusahakan secara domestik,” tegas Edi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari