JAKARTA. Pada triwulan I-2011 ini, impor buah-buahan terutama untuk jenis jeruk mandarin dan pir dari China semakin merajalela. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor jeruk mandarin pada Januari-Maret 2011 senilai US$ 85.352.866. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, nilai impor jeruk mandarin masih sebesar US$ 68.103.952. Itu berarti impor jeruk mandarin triwulan I-2011 melonjak sekitar 25,32% dibandingkan triwulan I-2010. Kondisi yang sama terjadi pada impor buah pir. Bahkan, kenaikan nilai impor pir jauh lebih tinggi ketimbang jeruk mandarin. Masih merujuk data BPS, impor buah pir Januari-Maret 2011 senilai US$ 30.392.987. Nilai ini melonjak 168,56% dibanding Januari-Maret 2010 yang senilai US$ 11.317.116. Ketua Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia (AESBI), Hasan Widjaja, mengaku tidak terlalu kaget dengan kenaikan nilai impor buah dari China. Menurutnya, buah-buahan China memang memiliki banyak keunggulan seperti harga yang lebih rendah dan ketersediaan pasokan yang melimpah. Jeruk mandarin dari China misalnya bisa dijual ke konsumen dengan harga Rp 17.000 per kilogram (kg). Bandingkan dengan Jeruk Medan atau Pontianak yang dijual lebih mahal yaitu Rp 20.000/kg. "Para pedagang otomatis memilih jeruk impor," ungkapnya kepada KONTAN, Rabu (4/5). Ketersediaan pasokan buah impor dari China juga menjadi penyebab lainnya. China sudah memiliki kawasan produksi buah-buahan dan sayuran yang memadai baik dari sisi luas maupun teknologi penanamannya. Efeknya, mereka bisa memproduksi buah-buahan dan sayuran terus-menerus sepanjang tahun tanpa harus terhambat masalah cuaca. Kondisi sebaliknya menimpa buah-buahan Indonesia. Produksi buah-buahan di beberapa daerah sering mentok akibat cuaca buruk. Indonesia juga tidak memiliki kawasan khusus yang dijadikan lumbung produksi buah. Akibatnya, saban tahun produksi buah-buahan lokal terus berfluktuasi sepanjang tahun. "Pedagang jelas tidak mau kalau pasokannya tidak menentu," tambah Hasan. Meski begitu, Hasan mengakui ada beberapa jenis buah yang memang harus diimpor karena Indonesia tidak memilikinya, seperti buah pir. Di sisi lain, permintaan buah pir dari masyarakat terus meningkat. Imbasnya, untuk memenuhi kebutuhan itu, impor merupakan jalan satu-satunya. "Pir memang tidak ada di Indonesia, mau bagaimana lagi impor harus dilakukan," tandasnya. Sementara Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu mengatakan harus lebih bijak dalam melihat impor buah dari China. Menurutnya, Indonesia belum memasuki skala ketergantungan pada buah-buahan impor dari China. Tapi, impor itu kebanyakan untuk jenis-jenis tertentu yang tidak ada di Indonesia. "Kalau permintaan ada, sementara pasokan tidak ada, impor bukan sesuatu yang salah," ungkap Marie dalam keterangan pers.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Impor buah dari China makin menggila
JAKARTA. Pada triwulan I-2011 ini, impor buah-buahan terutama untuk jenis jeruk mandarin dan pir dari China semakin merajalela. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor jeruk mandarin pada Januari-Maret 2011 senilai US$ 85.352.866. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, nilai impor jeruk mandarin masih sebesar US$ 68.103.952. Itu berarti impor jeruk mandarin triwulan I-2011 melonjak sekitar 25,32% dibandingkan triwulan I-2010. Kondisi yang sama terjadi pada impor buah pir. Bahkan, kenaikan nilai impor pir jauh lebih tinggi ketimbang jeruk mandarin. Masih merujuk data BPS, impor buah pir Januari-Maret 2011 senilai US$ 30.392.987. Nilai ini melonjak 168,56% dibanding Januari-Maret 2010 yang senilai US$ 11.317.116. Ketua Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia (AESBI), Hasan Widjaja, mengaku tidak terlalu kaget dengan kenaikan nilai impor buah dari China. Menurutnya, buah-buahan China memang memiliki banyak keunggulan seperti harga yang lebih rendah dan ketersediaan pasokan yang melimpah. Jeruk mandarin dari China misalnya bisa dijual ke konsumen dengan harga Rp 17.000 per kilogram (kg). Bandingkan dengan Jeruk Medan atau Pontianak yang dijual lebih mahal yaitu Rp 20.000/kg. "Para pedagang otomatis memilih jeruk impor," ungkapnya kepada KONTAN, Rabu (4/5). Ketersediaan pasokan buah impor dari China juga menjadi penyebab lainnya. China sudah memiliki kawasan produksi buah-buahan dan sayuran yang memadai baik dari sisi luas maupun teknologi penanamannya. Efeknya, mereka bisa memproduksi buah-buahan dan sayuran terus-menerus sepanjang tahun tanpa harus terhambat masalah cuaca. Kondisi sebaliknya menimpa buah-buahan Indonesia. Produksi buah-buahan di beberapa daerah sering mentok akibat cuaca buruk. Indonesia juga tidak memiliki kawasan khusus yang dijadikan lumbung produksi buah. Akibatnya, saban tahun produksi buah-buahan lokal terus berfluktuasi sepanjang tahun. "Pedagang jelas tidak mau kalau pasokannya tidak menentu," tambah Hasan. Meski begitu, Hasan mengakui ada beberapa jenis buah yang memang harus diimpor karena Indonesia tidak memilikinya, seperti buah pir. Di sisi lain, permintaan buah pir dari masyarakat terus meningkat. Imbasnya, untuk memenuhi kebutuhan itu, impor merupakan jalan satu-satunya. "Pir memang tidak ada di Indonesia, mau bagaimana lagi impor harus dilakukan," tandasnya. Sementara Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu mengatakan harus lebih bijak dalam melihat impor buah dari China. Menurutnya, Indonesia belum memasuki skala ketergantungan pada buah-buahan impor dari China. Tapi, impor itu kebanyakan untuk jenis-jenis tertentu yang tidak ada di Indonesia. "Kalau permintaan ada, sementara pasokan tidak ada, impor bukan sesuatu yang salah," ungkap Marie dalam keterangan pers.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News