JAKARTA. Pemerintah akan membuka kran impor daging sapi sebesar 5.600 ton. Namun, kalangan pengusaha tetap tidak puas lantaran kuota impor tersebut belum cukup.Pengusaha mengatakan, kebutuhan daging sapi impor mencapai 7.000 ton per bulan. Apalagi, kran impor itu bukan tambahan kuota melainkan dari alokasi semester kedua tahun ini. ""Kalau diambil dari kuota semester kedua, nantinya akan sama saja kekurangan pasokan daging," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring, Sabtu (5/5).Menurutnya, kebutuhan daging sapi pada semester kedua akan jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya karena ada perayaan Hari Idul Fitri. Dia memperkirakan, kebutuhan daging sapi pada saat itu akan melonjak hingga dua kali lipat. Karena itu, dia berharap pemerintah mengkaji kembali besaran kuota impor berdasarkan kebutuhan daging maupun suplai dari sapi lokal. Menurut Thomas, 5.600 ton daging impor itu akan diperuntukkan bagi industri perhotelan, restoran, dan katering sebanyak 1.100 ton. Sementara, untuk industri olahan daging memperoleh bagian sebesar 3.500 ton, terakhir untuk distributor daging sebesar 1.000 ton.Suhardjito, Ketua Umum Dewan Daging Sapi Nasional (DDSN) sekaligus Ketua Asosiasi Distributor Daging Sapi (ADDI) juga senada. "Kuota impor sebesar itu sangat tidak realistis dibandingkan jumlah kebutuhan," ucapnya.Akibat kurangnya pasokan, Suhardjito menyatakan, telah menyebabkan lonjakan harga daging sekitar 65%, dihitung dari rata-rata kenaikan harga seluruh jenis daging. Ia mencontohkan, harga daging type 90 CL untuk industri olahan pada Juli 2011 dibanderol Rp 35.000 per kg, pada Mei 2012 harganya meningkat 62,8% menjadi Rp 57.000 per kg. Bahkan, untuk daging type 20 CL melonjak 87,5% dari Rp 16.000 menjadi Rp 30.000 per kg.Akibat lonjakan harga bahan baku industri tersebut, sejumlah pengusaha industri olahan maupun distributor lebih memilih menghentikan operasinya karena tak mampu menanggung kenaikan beban biaya produksi. Menurut Suhardjito, pengusaha juga berpotensi merugi karena tidak mungkin menaikkan harga jual daging olahan ke konsumen sebagaimana kenaikan bahan baku.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Impor daging 5.600 ton, pengusaha tetap tak puas
JAKARTA. Pemerintah akan membuka kran impor daging sapi sebesar 5.600 ton. Namun, kalangan pengusaha tetap tidak puas lantaran kuota impor tersebut belum cukup.Pengusaha mengatakan, kebutuhan daging sapi impor mencapai 7.000 ton per bulan. Apalagi, kran impor itu bukan tambahan kuota melainkan dari alokasi semester kedua tahun ini. ""Kalau diambil dari kuota semester kedua, nantinya akan sama saja kekurangan pasokan daging," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring, Sabtu (5/5).Menurutnya, kebutuhan daging sapi pada semester kedua akan jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya karena ada perayaan Hari Idul Fitri. Dia memperkirakan, kebutuhan daging sapi pada saat itu akan melonjak hingga dua kali lipat. Karena itu, dia berharap pemerintah mengkaji kembali besaran kuota impor berdasarkan kebutuhan daging maupun suplai dari sapi lokal. Menurut Thomas, 5.600 ton daging impor itu akan diperuntukkan bagi industri perhotelan, restoran, dan katering sebanyak 1.100 ton. Sementara, untuk industri olahan daging memperoleh bagian sebesar 3.500 ton, terakhir untuk distributor daging sebesar 1.000 ton.Suhardjito, Ketua Umum Dewan Daging Sapi Nasional (DDSN) sekaligus Ketua Asosiasi Distributor Daging Sapi (ADDI) juga senada. "Kuota impor sebesar itu sangat tidak realistis dibandingkan jumlah kebutuhan," ucapnya.Akibat kurangnya pasokan, Suhardjito menyatakan, telah menyebabkan lonjakan harga daging sekitar 65%, dihitung dari rata-rata kenaikan harga seluruh jenis daging. Ia mencontohkan, harga daging type 90 CL untuk industri olahan pada Juli 2011 dibanderol Rp 35.000 per kg, pada Mei 2012 harganya meningkat 62,8% menjadi Rp 57.000 per kg. Bahkan, untuk daging type 20 CL melonjak 87,5% dari Rp 16.000 menjadi Rp 30.000 per kg.Akibat lonjakan harga bahan baku industri tersebut, sejumlah pengusaha industri olahan maupun distributor lebih memilih menghentikan operasinya karena tak mampu menanggung kenaikan beban biaya produksi. Menurut Suhardjito, pengusaha juga berpotensi merugi karena tidak mungkin menaikkan harga jual daging olahan ke konsumen sebagaimana kenaikan bahan baku.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News