Impor dari China Merajalela, Industri Plastik Nasional Terpuruk



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para produsen plastik lokal tampak kesulitan mempertahankan bisnis mereka baru-baru ini akibat maraknya impor bahan baku dan barang jadi plastik dari China.

Mengutip Bloomberg, industri petrokimia China diperkirakan akan mengalami kelebihan pasokan atau ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi pada tahun 2025 mendatang. 

Misalnya, produksi Polypropylene di China diprediksi mencapai 60 juta ton pada 2025, jauh melebihi konsumsi yang diperkirakan hanya 41,6 juta ton. Hal serupa terjadi pada produksi Polyethylene yang diperkirakan mencapai 48,9 juta ton, sementara konsumsinya hanya 45,3 juta ton.


Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, menjelaskan bahwa China sangat agresif dalam membangun fasilitas produksi petrokimia sebagai bahan baku plastik selama pandemi Covid-19. Namun, permintaan dari pasar domestik tidak cukup tinggi untuk menyerap produksi tersebut, sehingga kelebihan pasokan tidak dapat dihindari.

Baca Juga: Harga Kemasan Masih Lentur Meski Harga Naik

China juga mengalami kesulitan dalam mengekspor produk bahan baku atau barang jadi plastik ke pasar utama seperti Amerika Serikat karena sanksi perang dagang. Akibatnya, China mengalihkan ekspornya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Sejak sebelum bulan Ramadan, impor produk plastik dari China mulai banyak masuk ke pasar Indonesia dan terus meningkat hingga sekarang," ujar Fajar, Selasa (2/7).

Bahan baku dan barang jadi plastik asal China mudah masuk karena para eksportir di sana mendapat insentif dari pemerintah setempat. Produk impor ini semakin sulit dibendung setelah pemerintah Indonesia merelaksasi kebijakan importasi melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024.

"Produk dari China biasanya dijual dengan harga murah karena mereka berprinsip yang penting produk tersebut cepat laku di pasar," ungkap Fajar.

Para produsen plastik lokal pun kesulitan bersaing dengan produk impor dari China. Akibatnya, tingkat utilisasi produsen lokal terus menyusut hingga mencapai 50% saat ini.

Jika peredaran bahan baku dan barang jadi plastik impor terus berlanjut, bukan tidak mungkin pabrik-pabrik produksi plastik lokal akan banyak yang tutup. Hal ini tentu merugikan industri-industri lain yang banyak memanfaatkan produk plastik, seperti makanan-minuman, peralatan rumah tangga, otomotif, dan lainnya.

Inaplas memperkirakan kinerja industri petrokimia, termasuk plastik nasional pada 2024 tidak akan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Rasa pesimisme ini muncul karena permintaan produk berbahan plastik di dalam negeri sedang merosot seiring dengan pelemahan daya beli masyarakat. Sementara itu, suplai bahan baku dan barang jadi plastik didominasi oleh produk impor dari China.

Baca Juga: Pelemahan Rupiah Mulai Memukul Industri Manufaktur

Para produsen plastik nasional kini mencoba lebih efisien dalam menjalankan bisnis mereka di tengah berbagai kesulitan dan tantangan.

Dalam catatan KONTAN, Inaplas sudah pernah mengajukan beberapa instrumen perlindungan industri dalam negeri dari ancaman impor kepada pemerintah, antara lain Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) untuk bahan baku plastik seperti Polypropylene (PP) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE).

Fajar mengatakan, Inaplas berencana bertemu dengan Kemenperin pada pekan depan untuk menjelaskan kondisi industri petrokimia, termasuk plastik, secara mendetail. 

Namun, ia mengakui bahwa kebijakan instrumen pengamanan seperti BMAD dan BMTP tidak mudah diterapkan karena membutuhkan data dan kajian mendalam yang memakan waktu lama.

Fajar berpendapat, masalah banjir produk impor China bisa teratasi jika pemerintah memperbaiki peraturan importasi yang ada. "Permendag 36/2023 harus diterapkan kembali untuk membatasi produk impor plastik dari China," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .