Impor dibatasi, pengusaha khawatir kelangsungan industri dalam negeri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana membatasi impor khususnya impor barang konsumsi demi menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Salah satu caranya dengan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) barang impor.

Kementerian Keuangan dikabarkan bakal segera menerapkan tarif pajak penghasilan (PPh)  sebesar 7,5% barang konsumsi maupun bahan baku yang diimpor. Sebaliknya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan memperkuat ekspor, dengan cara meningkatkan investasi serta melakukan substitusi bahan baku dan bahan penolong impor yang mencakup 500 komoditas.

Pengetatan impor barang konsumsi dan bahan baku ini akan berpengaruhu ke sektor konsumsi mulai dari industri makanan dan minuman, farmasi dan personal care yang sebagian besar bahan bakunya masih bergantung pada produk impor. Oleh karena itu, Adhi Lukman Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menganggap kurang tepat kalau pembatasan juga dikenakan pada barang raw material dan barang modal.


"Karena industri juga tetap perlu untuk global value chain-nya. Kalau dibatasi tentu bakal membatasi produksi," ungkap Adhi kepada Kontan.co.id, Rabu (15/8). Kecuali, kata Adhi, pembatasan diterapkan hanya pada produk jadi saja.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pembatasan impor jika tidak dilakukan dengan hati-hati bakal mempengaruhi iklim bisnis dan investasi dalam negeri. "Sebenarnya yang paling penting ialah perbaikan regulasi yang telah ada agar bagaimana dapat berjalan," katanya.

Terkadang pembatasan impor memiliki beberapa kendala, terkait nomor HS produk tersebut. Tak jarang, kata Adhi, untuk satu jenis barang nomor HS-nya sama, padahal salah satu produk merupakan bahan baku dan lainnya produk jadi.

Saat ini Gapmmi mengaku menunggu keputusan pembatasan impor tersebut. Adhi berharap pelaku usaha dapat diajak duduk bersama membahasnya. Dari pemaparan Adhi beberapa bahan baku industri makanan dan minuman yang masih diimpor, seperti tepung terigu dan gula 100% mengandalkan produksi luar negeri.

Sedangkan untuk bahan susu, garam dan kedelai rata-rata 70%-80% masih diperoleh dari importasi. "Belum lagi zat-zat untuk flavouring, sebagian besar masih impor," urainya.

Sementara itu menurut Vincent Harijanto, Ketua Litbang Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengampu pembatasan importasi produk. "Kalau misalnya mau impor finish product, tapi ternyata di dalam negeri ada barang sejenis tentu tidak bisa masuk," katanya kepada Kontan.co.id, Rabu (15/8).

Yang menjadi problem jika pembatasan dilakukan untuk bahan baku farmasi, yang mana hampir 90% raw material industri farmasi lokal dibeli dari impor. Menurut Vincent, pembatasan bukan solusi untuk menekan impor bahan baku. Melainkan mendorong pelaku usaha untuk mau berinvestasi pabrik bahan baku adalah hal yang tepat.

"Untuk bahan baku memang belum bisa produksi banyak, untuk itu yang harus digalakkan adalah insentif terhadap investasi tersebut," kata Vincent.

Sedangkan PT Kino Indonesia Tbk (KINO) belum dapat berkomentar banyak soal rencana pembatasan impor tersebut. Yang jelas, pembatasan itu jangan sampai mengurangi keberadaan bahan baku penting komponen produksi.

"Jangan sampai kurang dari permintaan, sehingga malah berpotensi menaikkan harga dan terjadi inflasi," ujar Harry Sanusi, Presiden Direktur PT KINO kepada Kontan.co.id, Rabu (15/8). KINO dikenal sebagai brand untuk personal care dan minuman yang memiliki hampir 800 stock keeping unit (SKU).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat