Impor Energi Naik, Defisit Neraca Dagang Jepang Capai 668,3 Miliar Yen di Februari



KONTAN.CO.ID - TOKYO. Jepang melaporkan defisit perdagangan yang lebih besar dari perkiraan pada Februari 2022. Ini terjadi karena lonjakan biaya impor yang didorong oleh kenaikan energi menambah kerentanan bagi ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.

Rabu (16/3), Kementerian Keuangan Jepang melaporkan ekspor hanya naik tipis, kurang dari yang diharapkan meskipun rebound dalam pengiriman tujuan China. Ini jadi tanda mengkhawatirkan bagi ekonomi Jepang uang menghadapi ketidakpastian karena kendala pasokan global dan invasi Rusia ke Ukraina.

Sementara itu, impor di bulan Februari 2022 melonjak 34,0%. Realisasi itu di atas perkiraan pasar dengan rata-rata untuk kenaikan 28,0% dalam jajak pendapat Reuters.


Impor tersebut juga melampaui kenaikan ekspor 19,1% yoy pada bulan lalu, yang akhirnya menghasilkan defisit perdagangan sebesar 668,3 miliar yen atau setara US$ 5,65 miliar. Lagi-lagi, defisit neraca perdagangan ini yang lebih besar dari perkiraan dalam jajak pendapat Reuters dengan defisit 112,6 miliar yen.

Walau begitu, defisit neraca perdagangan di Februari ini masih lebih sempit dari defisit dagang yang dicetak pada bulan Januari 2022 lalu, yang mencapai 2,19 triliun yen. Itu juga merupakan defisit neraca dagang terbesar satu bulan dalam delapan tahun terakhir.

Berdasarkan wilayah, ekspor ke China, mitra dagang terbesar Jepang, meningkat 25,8% dalam 12 bulan hingga Februari. Itu didorong oleh pengiriman mesin semikonduktor yang lebih kuat ke Negeri Tirai Bambu, setelah mencatat kontraksi terkait Tahun Baru Imlek di bulan sebelumnya.

Ekspor ke Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia, tumbuh 16,0% pada Februari, karena pengiriman mobil dan mesin semikonduktor yang lebih kuat.

Ekonomi Jepang rebound kurang dari perkiraan semula pada kuartal terakhir 2021, kata pemerintah pekan lalu, karena pertumbuhan belanja konsumen dan bisnis yang lebih lemah.

Penurunan peringkat pada pertumbuhan kuartal keempat adalah berita buruk bagi pembuat kebijakan yang ditugaskan untuk mempertahankan pemulihan yang rapuh karena krisis Ukraina mengaburkan prospek ekonomi global.

Editor: Anna Suci Perwitasari