KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badai yang menerpa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seolah tidak mau berakhir. Salah satu masalah pelik yang terus dihadapi produsen TPT nasional adalah banjir produk impor ilegal. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mencatat, terdapat 663.000 ton produk pakaian jadi impor yang datang ke Indonesia pada 2023. Angka ini setara dengan 33.000 kontainer. Data yang disampaikan APSyFI tadi merupakan estimasi impor produk TPT ilegal yang tidak tercatat, sehingga terdapat perbedaan dengan data resmi milik pemerintah.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) sendiri menyebut bahwa impor pakaian jadi bukan rajutan mengalami penurunan. Merujuk laman Satu Data Perdagangan yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemendag, impor pakaian jadi bukan rajutan tercatat sebesar US$ 267,7 juta pada 2023 atau turun 10,93% year on year (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya yaitu US$ 300,5 juta. “Sebagian impor ilegal ini masuk melalui modus barang bawaan penumpang atau barang kiriman dari layanan jastip,” ungkap Redma, Rabu (12/6).
Baca Juga: API: Permendag No 8 Tahun 2024 Membuat Barang Impor Ilegal Makin Merajalela Dia menambahkan, impor TPT ilegal memang banyak terjadi pada produk pakaian jadi dan kain jadi. Selain berdampak negatif pada industri hilir TPT, keberadaan produk ilegal tersebut juga menggerus permintaan benang dan serat di industri hulu TPT bahkan hingga ke industri petrokimia. Dengan kata lain, fenomena impor produk ilegal akan merusak seluruh mata rantai di industri terkait tekstil. Maraknya produk impor ilegal ditambah seretnya permintaan ekspor membuat para pelaku industri TPT kelimpungan. Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri TPT masih sulit dibendung. Dalam berita sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut sudah ada 6 pabrik TPT yang tutup sejak awal 2024, sehingga mereka terpaksa melakukan PHK kepada para karyawannya. Keenam pabrik yang tutup tersebut antara lain PT S Dupantex, Jawa Tengah dengan jumlah PHK 700-an orang; PT Alenatex, Jawa Barat (PHK 700-an orang); PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah (PHK 500-an orang); PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah (PHK 400-an orang), PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah (PHK 700-an orang), dan PT Sai Apparel, Jawa Tengah (PHK 8.000-an orang). Banyaknya pabrik yang tutup jelas membuat utilitas di industri TPT menyusut. Dalam pemberitaan KONTAN sebelumnya, utilisasi industri serat yang menjadi sektor hulu TPT hanya mencapai 45%. Kemudian, industri spinning memiliki tingkat utilisasi 40%, industri weaving/kniting 52%, dan industri finishing 55%. Adapun utilisasi industri pakaian jadi yang berada di hilir tercatat sebesar 58%. Redma menilai, sebenarnya impor TPT ilegal dapat diminimalisasi ketika Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36/2023 terbit. Namun, pemerintah justru bertindak tidak konsisten dengan merevisi tiga kali regulasi tersebut demi merelaksasi impor. Terbaru, Kemendag menerbitkan Permendag 8/2024 yang menghilangkan kewajiban penerbitan pertimbangan teknis untuk impor bahan baku sejumlah komoditas, termasuk tekstil. "Kami meminta Permendag 8/2024 dikembalikan lagi menjadi Permendag 36/2023 dan dilakukan pembersihan mafia impor yang melibatkan instansi pemerintahan," jelas dia.
Baca Juga: Kebijakan Impor Dilonggarkan, Industri Tekstil Dibayangi PHK dan Penutupan Pabrik Senada, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja menyebut, revisi Permendag 36/2023 justru makin mempermudah aktivitias impor. Secara tidak langsung, pelaku usaha TPT jadi sulit membedakan mana impor resmi dan impor ilegal. Pencabutan kewajiban pengajuan pertimbangan teknis pun dianggap menjadi langkah blunder dari pemerintah. Sebab, pertimbangan teknis adalah salah satu bentuk non tarrif barrier (NTB). "Pemerintah perlu melindungi pasar tekstil dalam negeri dengan memberlakukan kebijakan hambatan non tarif," tandas dia, Rabu (12/6). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat