Impor kakao hampir menyamai jumlah ekspor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menghadapi krisis ekspor kakao. Penyebabnya, produksi tahunan tak sanggup cukupi kebutuhan dalam negeri karena banyak faktor. Kemampuan mencukupi permintaan luar negeri jadi tergerus.

Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Arief Zamroni menjelaskan produksi tahunan kakao Indonesia saat ini berkisar di 400.000 ton dan tahun ini diperkirakan tidak jauh berbeda. Padahal, kapasitas yang bisa diolah mesin mencapai 800.000 ton alias dua kali lipat hasil panen. Akibatnya, impor menjadi lebih banyak.

Adapun angka ekspornya terus turun, di mana per catatan Kontan.co.id, pada tahun 2017 ekspor biji kakao Indonesia adalah 25.098 dan turun 11,41% dari eskpor tahun sebelumnya di 28.329 ton. Angka ini terus turun sejak 2009 yang mana mencatatkan ekspor biji kakao di 439.304 ton.


Di awal tahun, ekspor kakao mulai meningkat lagi. Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kakao Indonesia pada kuartal I-2018 naik 18,48% dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspor kakao periode Januari hingga Maret 2018 sebesar 99.235 ton sementara tahun sebelumnya 83.757 ton.

Tapi, pertumbuhan impor kakao lebih cepat. Pada periode Januari hingga Maret 2018, impor mencapai 81.330 ton, naik 32,64% dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 61.313 ton. 

"Karena kakao kita banyak yang tua, hama, problem di tanaman budidaya kita, banyak alih fungsi lahan dari kakao ke bukan kakao, kemudian walau ada proses pengembangan tapi dibandingkan alihfungsinya tidak seimbang," papar Arief kepada Kontan, Selasa (15/5).

Menurutnya, pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan wacana revitalisasi tanaman kakao, namun nampaknya masih teralihkan untuk mengejar peremajaan komoditas lain. Padahal potensi dari tanaman kakao sesungguhnya cukup seksi dengan harga yang terus melambung dan kini berada di Rp 40.000 per kilogram. Asal tahu, beberapa bulan lalu harganya masih berada di Rp 15.000 - Rp 18.000 per kg.

Masalah tak hanya disitu, tapi juga soal pengadaan pupuk yang ia nilai masih mahal. Menurut Arief, bila pemerintah ingin meningkatkan produktivitas dan minat pada tanaman kakao, opsi subsidi pupuk atau pupuk alternatif buatan masyarakat dapat dikaji.

"Kita tetap akan bergerak, saya pikir pemerintah ada niat untuk perbaiki, tapi seberapa besar kekuatan pemerintah untuk membenahi kakao kita, kita harus lihat," kata Arief.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia