JAKARTA. Target swasembada kedelai tahun 2014 dipastikan gagal. Sebab, di tahun politik ini, impor kedelai semakin membesar. Kementerian Pertanian (Kemtan) mencatat, per Agustus 2014 saja, volume impor bahan baku tempe dan tahu ini sudah mencapai 1,58 juta ton. Jumlah ini mengalami kenaikan 31,15% dibandingkan dengan periode sama tahun 2013 yang hanya 1,21 juta ton. Realisasi impor sebesar itu sudah mencapai 80% dari prognosa impor kedelai. Dan diperkirakan hingga akhir tahun, jumlahnya bakal melebih target impor kedelai yang dipatok di kisaran 1,8 juta ton hingga 2 juta ton. Ini semakin mengindikasikan ketergantungan Indonesia atas impor kedelai. Kondisi ini juga tecermin di pasar. Konsumen semakin sulit mendapatkan kedelai kedelai lokal.
Padahal dalam sepekan terakhir terjadi panen raya kedelai di wilayah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Ketua Gabungan Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (Gapoktindo) Aip Syarifudin menjelaskan, produksi kedelai lokal yang masih minim menjadi alasan membludaknya impor. Apalagi kebutuhan kedelai nasional dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi dibandingkan kenaikan produksi nasional. Tahun ini, kebutuhan kedelai nasional diprediksi mencapai 3 juta ton. Sementara produksi nasional ditargetkan hanya 1 juta ton. Mau tak mau agar tak terjadi kekurangan bahan baku, impor digenjot. "Jika produksi nasional cukup, pengusaha lebih pilih kedelai lokal," ujar Aip, Kamis (30/10). Ia memberi contoh di Medan. Dinas Pertanian Medan mengklaim panen raya kedelai namun stok mereka tak ada digudang lantaran langsung dibeli. Bea masuk 20% Kondisi ini diperparah dengan target Kemtan menggenjot produksi kedelai yang tak kunjung tercapai. Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Tanaman Pangan Kemtan Haryono bilang, harga jual kedelai yang tak menarik membuat petani enggan menaman tanaman ini. Asal tahu saja, untuk periode Oktober-Desember 2014, Kementerian Perdagangan (Kemdag) menetapkan harga beli petani (HBP) kedelai sebesar Rp 7.600 per kilogram. Angka ini sama seperti HBP periode Juli-September 2014. Namun HBP tersebut dianggap rendah. Petani kedelai asal Jember Mukhlisin menyebut seharusnya harga bisa lebih tinggi. Dengan HBP seperti itu, harga pokok penjualan (HPP) hanya di kisaran Rp 6.500 per kg. "Pemerintah seharusnya menjaga semangat petani dengan menetapkan harga HPP di Rp 7.800 per kg-Rp 8.000 per kg," ujarnya.
Mukhlisin bilang, saat ini produktivitas petani kedelai cukup baik. Ia mencontohkan, sebelumnya produksi kedelai satu hektare menghasilkan 100.000 ton, tapi dalam dua tahun naik hingga 20%. Belum lagi kualitas kedelai lokal jauh lebih baik dan sehat ketimbang impor. Untuk meredam impor kedelai, Gapoktindo akan mengusulkan pengenaan bea masuk kedelai minimal 20%. Dalam waktu dekat, Aip berencana bertemu dengan Menteri Perdagangan baru Rachmat Gobel demi menggolkan rencana Gapoktindo tersebut. Asal tahu saja, sejak Oktober 2013 lalu, bea masuk kedelai telah dihapus melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pembebasan bea masuk kedelai dilakukan karena keluhan para pengrajin tempe dan tahu terkait tingginya harga kedelai. S ebelum dibebaskan, impor kedelai dikenakan bea masuk sebesar 5%. Pengenaan bea masuk, diharapkan dapat merangsang petani untuk kembali menanam kedelai. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto