KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja PT Perusahaan Gas Negara Tbk (
PGAS) bakal didukung oleh meningkatnya impor kargo gas alam cair (LNG). Impor LNG membuka peluang PGAS untuk menyesuaikan biaya distribusi gas jadi lebih tinggi. Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta melihat, terdapat potensi pelebaran defisit perdagangan gas ke depannya karena Indonesia perlu mengimpor sekitar 40-50 kargo Liquefied Natural Gas (LNG) pada tahun fiskal 2025 untuk mengimbangi penurunan gas pipa. Impor tersebut akan menambah setidaknya defisit perdagangan sebesar US$2 miliar. Sementara itu, pasokan LNG domestik saat ini dari Bontang, Tangguh, dan Donggi-Senoro, belum mencukupi yang sekitar 14-15 kargo LNG untuk memenuhi permintaan LNG domestik dengan beberapa kargo yang telah dikontrak ke pelanggan luar negeri.
Dalam hal ini, Ryan berujar, PGAS atau PGN termasuk di antara nama-nama yang akan mengandalkan impor LNG mulai tahun anggaran 2025 atau sekitar 20% dari total volume, untuk mengimbangi penurunan alami di blok Corridor dan lapangan lainnya. ‘’Impor LNG lebih lanjut akan memungkinkan PGAS untuk mengenakan biaya distribusi yang lebih tinggi di atas US$ 2 per mmbtu dibandingkan US$1,3 per mmbtu–US$ 1,8 per mmbtu untuk gas pipa/HGBT. Meskipun hal ini juga dapat meningkatkan risiko intervensi pemerintah dalam jangka menengah,’’ ungkap Ryan dalam riset 25 November 2024.
Baca Juga: Garap Proyek Strategis, Simak Rekomendasi Saham Perusahaan Gas Negara (PGAS) Oleh karena itu, Ryan mengantisipasi potensi pendapatan dan volume distribusi PGAS yang kuat, terutama dengan kargo LNG tambahan yang tiba di kuartal IV-2024 untuk meredam penurunan dari gas pipa.
Volume distribusi yang relatif kuat sebelumnya telah mendorong pertumbuhan pendapatan segmen distribusi gas tumbuh 19% qoq menjadi US$680 juta di kuartal III-2024. Pada bisnis lain, pendapatan perdagangan gas alam cair LNG tercatat sebesar US$ 68 juta pada kuartal ketiga. Pendapatan ini meningkat dari US$ 31 juta di kuartal kedua 2024, menyusul pengiriman dua kargo LNG dari Petronas Malaysia ke pembeli Tiongkok. Hanya saja, terjadi penurunan pendapatan di bisnis transmisi & Saka Energi masing-masing -44% QoQ dan -14% QoQ karena biaya tol yang lebih rendah dan volume hulu Saka Energi yang lesu. Penurunan kinerja pada kedua segmen bisnis ini diperkirakan masih menjadi risiko negatif bagi PGAS. Sisi positifnya, biaya pengeluaran operasional (opex) PGAS terpantau menurun signifikan menjadi US$ 24 juta pada kuartal ketiga 2024. Penurunan opex terutama penyisihan kerugian penurunan nilai (
impairment loss) yang sedang diklasifikasikan ulang menjadi biaya lain-lain.
Selain itu, tidak ada pengeluaran besar dengan tarif pajak efektif berada di angka 22%. Alhasil, PGAS mampu mencetak laba bersih sebesar US$ 78 juta yang bertumbuh 21% qoq dan 46% yoy di kuartal ketiga 2024. Hasil itu menjadikan laba bersih kumulatif sebesar US$ 263 juta, naik 33% YoY pada Januari-September 2024.
Baca Juga: IHSG Melemah ke 7.046 Hari Ini (2/12), Empat Saham Bank Paling Banyak Net Sell Asing Capaian laba PGAS berada di atas perkiraan yang mencapai 87% dari Indo Premier Sekuritas untuk proyeksi setahun penuh. Namun demikian, hasil PGAS tersebut sejalan dengan ekspektasi konsensus yang menyentuh 74% dari proyeksi setahun penuh. ‘’Kami mempertahankan peringkat
hold karena hasil keseluruhan PGAS sudah sesuai dengan ekspektasi pasar atau konsensus,’’ sebut Ryan. Analis JP Morgan Sekuritas Arnanto Januri mengatakan, laba bersih kumulatif PGAS tersebut mencapai 83% dari estimasi JP Morgan Sekuritas untuk setahun penuh. Raihan laba PGAS utamanya berasal dari margin distribusi gas yang lebih tinggi yang meningkat menjadi di atas US$ 2.1 per mmbtu pada kuartal ketiga, dibandingkan US$ 1.6 per mmbtu pada kuartal kedua 2024. Kenaikan margin distribusi gas ini tidak terlepas dari pelaku industri domestik dilaporkan membayar lebih tinggi dari harga gas yang diatur dalam HGBT sebesar US$ 6 per mmbtu untuk pasokan gas pipa dengan campuran LNG.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Lanjut Melemah Pada Selasa (3/12), Simak Saham Pilihannya ‘’Pelaku industri domestik dilaporkan membayar harga gas US$ 6,5 per mmbtu-US$ 13,5 per mmbtu untuk pasokan LNG, yang secara signifikan lebih tinggi dari batas harga gas yang diatur sebesar US$6 per mmbtu untuk tujuh industri domestik,’’ jelas Arnanto dalam riset 31 Oktober 2024. Arnanto meyakini, meningkatnya margin distribusi gas akan menjadi katalis positif dalam jangka pendek bagi PGAS. Namun, harga jual rata-rata alias
Average Selling Price (ASP) gas lebih tinggi mungkin tidak berkelanjutan karena industri dalam negeri terus melobi pemerintah untuk memberlakukan batasan harga gas US$ 6 per mmbtu. JP Morgan Sekuritas melihat peningkatan risiko intervensi pemerintah dalam jangka pendek, yang menghadirkan risiko penurunan pada level margin distribusi gas dari PGAS di bawah US$ 2 per mmbtu saat ini. Kurangnya visibilitas dalam margin distribusi gas membatasi ruang untuk pemeringkatan ulang jangka panjang, sehingga PGAS tetap dipandang netral. Di samping itu, biaya transmisi tol turun menjadi di bawah US$ 0.4 per mmscfd di kuartal ketiga. ‘’Kami mengharapkan reaksi positif dalam jangka pendek, meskipun pemeringkatan ulang mungkin tidak berlanjut ke jangka menengah karena visibilitas yang terbatas pada margin distribusi gas dalam jangka panjang,’’ ujar Arnanto.
Baca Juga: Peluang Window Dressing Semakin Menipis Arnanto menyebutkan, risiko positif untuk PGAS meliputi regulasi yang lebih mendukung harga gas yang pada akhirnya bisa mendorong margin lebih tinggi. Divestasi aset pada PT Saka Energi untuk mengurangi belanja modal tahunan akan menciptakan lebih banyak ruang untuk pembayaran dividen yang lebih tinggi. Selain itu, volume distribusi gas yang lebih kuat dari yang diharapkan. Sedangkan, risiko negatif bagi PGAS adalah campuran LNG yang lebih tinggi dari perkiraan untuk mengompensasi pasokan gas konvensional yang lebih rendah, sehingga dapat menekan margin. Kemudian, pertumbuhan volume yang lebih rendah dari perkiraan karena kendala pasokan gas, serta penurunan produksi Saka Energi yang lebih cepat dari perkiraan karena pemeliharaan belanja modal yang lebih lemah. Arnanto mempertahankan peringkat
neutral untuk PGAS dengan target harga sebesar Rp 1.370 per saham. Sedangkan, Ryan menyarankan
hold untuk PGAS dengan target harga sebesar Rp 1.500 per saham.
Senin (3/12), harga saham PGAS ditutup pada Rp 1.570 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati