KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ramainya produk Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) impor di tanah air menjadi tantangan berat bagi produsen bahan baku tekstil, seperti kain mentah, benang dan serat filamen. Harga produk impor yang biasanya lebih murah menyebabkan kompetisi di dalam negeri menjadi tidak sehat. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) memaparkan untuk produk serat dan benang ada impor walau sedikit, sedangkan produk kain jauh lebih banyak. "Meskipun sedikit, (serat dan benang impor) tetap mengganggu stabilitas harga di pasar domestik karena mereka jual 20% lebih murah," ungkap Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal APSyFI kepada Kontan.co.id, Minggu (17/3). Harga yang murah tak terlepas dari ongkos produksi murah, khususnya dari segi energi gas, dan output yang berlebih dari negara asal impor seperti China. Sedangkan untuk produk kain impor, kata Redma, saat ini porsinya sudah sampai 45% dari kebutuhan lokal.
"Oleh karenanya kami minta Pusat Logistik Berikat (PLB) tidak dibuka untuk seluruh barang tekstil, tapi hanya untuk kapas saja yg memang tidak diproduksi di sini," sebut Redma terkait persoalan makin ramainya produk impor ini. Sebelumnya asosiasi memang cukup vokal terhadap pemberlakuan PLB tersebut. Menjelang lebaran, biasanya produksi garmen bakal ditingkatkan guna memenuhi permintaan pakaian kala libur panjang. Untuk itu tentunya permintaan bahan baku tekstil meningkat, namun kata kata Redma, sudah tiga tahun ini, momen lebaran sudah tidak berdampak signifikan terhadap industri dalam negeri dikarenakan pasar dibanjiri pakaian dan kain impor. Asosiasi berharap pemerintah tahun ini berpihak kepada industri dalam negeri, apalagi di triwulan kedua setiap tahunnya permintaan pakaian dapat meningkat hingga 100% dibandingkan periode-periode lainnya. "Untuk serat dan benang kami masih berharap bisa naik mulai April nanti," sebut Redma. Sementara itu, Prama Yudha Amdan,
Assistant President Director Corporate Communications PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) mengatakan kalau misalnya tidak ada komponen tekstil di dalam negeri, tentu impor bukanlah pilihan yang tepat. Produsen benang dan serat ini mencontohkan Turki misalnya yang mengadakan
safeguard di setiap rantai produksi tekstilnya. "Maksudnya bukan menghindari kompetisi, tapi langkah ini ditempuh agar persaingan lebih adil dan playing field antar pemain ditempatkan di situasi yang sama," tutur Prama kepada Kontan.co.id, Minggu (17/3). Kondisi saat ini dengan energi gas yang tidak kompetitif dan terbilang mahal tentu kalah jauh dari importir tekstil besar seperti China. Apalagi kata Prama, China juga menyuntikkan insentifnya ke banyak industri termasuk tekstil. Beberapa hal menjadi catatan Prama, yakni masing-masing industri lokal harus memperbaiki funfamentalnya agar dapat berdaya saing. Lalu terkait kebijakan yang mengatur impor bahan baku perlu dievaluasi kembali. Serta penyebaran industri tekstil yang diharapkan terintegrasi di dalam negeri masih menemui kendala logistik masing-masing area yang jauh. "Kalau industri fiber di Purwakarta, lalu Chemical-nya di Karawang, sedangkan pengolahan benang rata-rata di Jawa Tengah, sementara penjualan konveksi banyak di Bandung. Kondisi ini jadi tantangan ke depan, selain insentif fiskal tadi," urai Prama.
Lebih lanjut ia menjabarkan secara industri sebenarnya ada kenaikan konsumsi produk tekstil per kapita di Indonesia pada 2018 kemarin dibandingkan tahun sebelumnya. Dari tahun 2017 konsumsi per kapita produk tekstil masih kisaran 7,2 kilogram-7,3 kilogram, maka di tahun 2018 kemarin diperkirakan hampir mencapai 8 kilogram produk tekstil per kapita. Sayangnya tingginya konsumsi tak terlihat dari segi
output volume industri TPT dalam negeri. Kenaikannya kata Prama, paling kisaran 1%-1,5% di tahun kemarin secara
year on year (yoy). Hal inilah yang masih dipertanyakan industri, apakah permintaan tersebut masih banyak diisi oleh produk impor. Sementara soal tren di bulan puasa dan libur lebaran, memang diakui Prama biasanya ada kenaikan permintaan dua bulan menjelang momen tersebut lantaran pabrikan garmen akan menggenjot produksinya untuk memenuhi demand di pasar. Namun sampai sekarang tendensi kenaikan masih belum terlihat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi