Impor minyak yang terlalu besar penyebab utama defisitnya neraca dagang di 2018



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center of Reform on Economics (CORE) menilai buruknya kinerja perdagangan sepanjang 2018 lalu karena peningkatan harga minyak dunia hampir sepanjang tahun lalu.  Apalagi komposisi impor minyak di Tanah Air lebih besar ketimbang ekspornya.

"Peningkatan harga minyak dunia hampir di sepanjang 2018 telah mendorong lonjakan impor minyak negara-negara net-importir minyak seperti Indonesia," ungkap Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal, Selasa (15/1).

Impor migas Indonesia melonjak dari US$ 24,3 miliar pada 2017 menjadi US$ 29,8 miliar pada tahun 2018, atau tumbuh 22,6%.


Idealnya, saat harga minyak dunia meningkat, tidak hanya berdampak pada kenaikan impor minyak, tetapi juga pada peningkatan ekspor minyak. Namun dampak kenaikan harga minyak terhadap peningkatan ekspor minyak jauh lebih kecil dibandingkan impor minyak.

Manakala harga minyak dunia naik 37,3% sepanjang Januari – Oktober 2018 dari tahun lalu, pertumbuhan nilai impor minyak ikut terkerek 36,8%. Sayangnya, ekspor minyak hanya mengalami kenaikan 2,3%.

"Hal ini disebabkan perbedaan komposisi ekspor dan impor minyak Indonesia," jelas dia.

Ekspor minyak Indonesia didominasi minyak mentah atau sebesar 75,7% terhadap total ekspor minyak. Sedangkan harga minyak mentah harganya lebih murah dibanding minyak olahan. Sebaliknya, 66% dari impor minyak adalah minyak olahan.

Kemudian pada saat harga minyak turun 4% selama November – Desember 2018, ekspor minyak turun lebih tajam 23%, sementara impor minyak malah tumbuh 3,5%. Tantangan untuk memperbaiki kinerja perdagangan di tahun 2019 masih sangat besar. Harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah, termasuk di antaranya sawit, batubara, karet dan tembaga.

Potensi harga minyak untuk kembali meningkat di tahun 2019 masih sangat terbuka sejalan dengan rencana negara-negara OPEC dan Rusia untuk melakukan pemotongan produksi secara signifikan.

"Walaupun kemungkinan besar peningkatan harga tidak akan melebihi rata-rata harga minyak di tahun 2018," jelas dia.

Faisal juga menjelaskan, sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN, masih belum banyak terasa efektivitasnya.

"Perlu dievaluasi, dipertajam dan diperkuat agar lebih terlihat efektivitasnya di tahun 2019," ungkap dia.

Dalam jangka menengah panjang, Faisal mengatakan revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan untuk mendongkrak daya saing produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur.

Apalagi mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan. Di samping itu, untuk jangka yang lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor non-tradisional, sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli