KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil menegaskan setiap Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disetujui oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM memperhitungkan keseimbangan antara demand dan supply agar tidak terjadi kelebihan pasokan (oversupply). Hal ini diungkapkan Bahlil menanggapi kabar keterlambatan persetujuan RKAB mempengaruhi produksi nikel di dalam negeri sehingga berdampak pada impor nikel dari Filipina membludak. "Jangan sampai supply lebih banyak daripada demand. Kalau supply lebih banyak daripada demand itu harga nanti jatuh. Kita menjaga agar harga enggak jatuh," kata Bahlil usai ditemui dalam agenda Minerba Expo, Senin (25/11).
Baca Juga: IMA: Kemenangan Trump akan Berdampak pada Ekspor Produk Nikel Indonesia Bahlil menuturkan dalam mengolah sumber daya alam harus bijak dan dikelola dengan baik agar selain menjaga harga tidak jatuh, juga menjaga masa waktu dari cadangan sumber daya alam yang ada. "Kalau kita jor-joran, nanti habis," sambungnya. Tak Permasalahkan Impor Bahlil mengakui ia tidak mempermasalahkan impor nikel. Sebab, Indonesia sebagai negara industri nikel, impor nikel tidak haram dilakukan untuk memenuhi stok bahan baku. Untuk itu, Bahlil bilang jangan hanya karena alasan adanya impor nikel kemudian menaikkan RKAB yang melebihi kapasitas permintaan. "Masa hanya kepentingan 1-2 perusahaan kemudian merusak tatanan saudara-suadara kita yang punya tambang. Ini saya pikir itu enggak apa-apa impor, ini boleh dalam perdagangan," ujar Bahli. Kontan mencatat, Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia justru mengalami kekurangan pasokan nikel untuk kebutuhan smelter di dalam negeri. Kekurangan pasokan bijih nikel ini memaksa perusahaan smelter mengimpor nikel dari Filipina Per Juli 2024, nilai impor bijih nikel dari Filipina melonjak 648,18% dibandingkan Maret 2024. Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo mengatakan, impor bijih nikel terpaksa dilakukan karena pasokan bijih nikel dai perusahaan tambang di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan smelter. Kondisi ini terjadi lantaran banyak perusahaan tambang nikel yang belum mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Baca Juga: Hilirisasi Nikel, Maluku Utara Sukses Jaring Investasi Hingga Rp 55 Triliun Akibatnya, pasokan bijih nikel ke perusahaan smelter menjadi tersendat. Sementara aktivitas smelter tetap harus berjalan, sehingga impor terpaksa dilakukan. Kementerian ESDM memang cukup terlambat memberikan persetujuan RKAB perusahaan nikel di tahun ini. Kementerian ini baru mengumumkan persetujuan RKAB untuk periode tiga tahun, yakni 2024-2026 pada Juni lalu. Itu pun yang disetujui baru 470 dari 700 perusahaan nikel. Tercatat, jumlah tonase dari RKAB yang disetujui tersebut mencapai 240 juta ton bijih nikel per tahun. "Sebenarnya dari sisi RKAB bijih nikel yang mencapai 240 juta ton itu cukup untuk memenuhi kebutuhan smelter, yang saat ini sekitar 200 juta ton," kata Singgih kepada KONTAN, Kamis (3/10). Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengakui, fenomena impor bijih nikel dipicu lambannya persetujuan RKAB perusahaan nikel. Ditambah lagi banyak perusahaan nikel yang belum juga mendapat persetujuan RKAB sampai saat ini.
"Ya, akhirnya sebagian penambang nikel tidak bisa beroperasi karena belum mendapatkan persetujuan RKAB, dan itu memicu terjadinya kekurangan pasokan nikel dari dalam negeri," ujar Rizal ke KONTAN, Kamis (3/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi