Impor Plastik Merajalela, Produsen Lokal Kelimpungan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri plastik nasional makin terpuruk seiring tren kenaikan impor bahan baku maupun produk jadi plastik yang sulit dibendung dalam beberapa waktu terakhir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menilai, impor plastik sudah cukup tinggi bahkan ketika kebijakan relaksasi impor belum diberlakukan. Tren impor plastik pun terus berlanjut hingga saat ini.

Hal tersebut dipicu oleh kondisi kelebihan pasokan yang dialami industri petrokimia dan turunannya di China. Mereka sulit mengekspor produknya ke negara utama seperti Amerika Serikat lantaran terhambat oleh perang dagang. Alhasil, produk dari China dijual ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.


Bahan baku plastik dari China mulai membanjiri pasar Indonesia sejak Februari 2024, sedangkan barang jadi plastik impor mulai mendominasi pasar domestik per Juni lalu.

"Sejak Juni, impor plastik terus naik sekitar 30% di tiap bulan," ujar kepada Kontan, Minggu (18/8).

Baca Juga: Inaplas Sebut Kebijakan BMAD-BMTP Bisa Menjaga Utilitas Industri Petrokimia

Imbas dari gempuran impor tersebut, utilisasi industri plastik seperti pabrik terpal plastik, peralatan rumah tangga plastik, dan plastik polyethylene terephthalate (PET) tergerus hingga 50%.

"Bahkan, beberapa pabrik bahan baku PET sempat berhenti beroperasi tiga bulan, kemudian baru akhir-akhir ini berjalan lagi," ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), Henry Cavalier mengaku, para produsen plastik nasional sulit bersaing dengan produk impor yang dibanderol dengan harga murah lantaran praktik predatory pricing. Ditambah lagi, sebagian konsumen cenderung lebih menyukai produk dengan harga murah. Padahal, kualitas barang jadi plastik lokal sebenarnya tidak kalah dibandingkan barang impor.

"Sekarang kami berusaha bertahan agar setidaknya pabrik tidak tutup," kata Henry, Senin (19/8).

Lebih lanjut, Inaplas meminta agar pemerintah dapat menjemput bola mengatasi maraknya peredaran produk plastik impor yang merajalela di pasar domestik. Dalam hal ini, pemerintah mesti bisa menetapkan kebijakan safeguard maupun antidumping terhadap produk plastik impor secara tepat waktu dan tepat sasaran.

Fajar mengaku, selama ini jika pengusaha mengusulkan sendiri pemberlakuan kebijakan pengetatan impor, maka proses yang ditempuh sangat lama. Apalagi, pelaku usaha memiliki keterbatasan dalam mengakses data-data terkait impor yang komprehensif dari pemerintah. Keberadaan data sangat krusial untuk membuktikan adanya praktik impor secara dumping yang dilakukan negara lain ke Indonesia.

Baca Juga: Impor Merajalela, Industri Plastik Merana

Aphindo pun mendukung pemberlakuan kebijakan seperti safeguard dan antidumping untuk impor plastik. Namun, kebijakan tersebut harus dipertimbangkan dengan cermat.

Sebab, pada dasarnya pengajuan safeguard atau antidumping bukan hal yang mudah. Harus ditentukan produk dan negara mana yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Kalaupun diberlakukan, bukan tidak mungkin negara lain akan melakukan serangan balasan dengan menerapkan kebijakan serupa.

"Kalau tidak cermat, nanti eksportir dari Indonesia juga sulit menjual produk ke negara lain," pungkas dia.

Sebelumnya, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Eko Harjanto menyebut, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan plastik pada 2023 sebesar US$ 1,7 miliar. Defisit ini timbul lantaran impor plastik mencapai US$ 3,27 miliar, sedangkan ekspor hanya US$ 1,49 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih