JAKARTA. Pemerintah melarang impor udang dan pakan alami dari enam negara untuk mencegah wabah penyakit sindrom kematian dini atau Early Mortality Syndrome (EMS) terhadap udang di dalam negeri. Keenam negara tersebut adalah India, China, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Meksiko. Larangan ini tercantum dalam surat edaran Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (PPHP) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tertanggal 22 Januari 2014. Surat edaranĀ itu dibuka pekan lalu. Surat edaran Dirjen PPHP tersebut merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 32 Tahun 2013 tentang Larangan Sementara pemasukan udang dari negara-negara yang terkena wabah ini EMS.
Pemerintah mengakui, keputusan ini dilematis. Sebab, produksi udang dalam negeri belum bisa memenuhi seluruhnya kebutuhan unit pengolahan yang ada. "Dalam negeri belum bisa memenuhi bahan baku pengolahan. Karena itu masih bisa impor dari negara-negara lain yang tidak kena EMS," jelas Artati Widiarti, Direktur Pemasaran Luar Negeri Ditjen PPHP KKP, Jumat (28/2). Beberapa negara alternatif sumber impor udang adalah negara penghasil udang perairan dingin (cold water) seperti Islandia dan Greenland. Sekadar informasi, total impor udang periode Januari hingga November 2013 lalu mencapai 2.702 ton dengan nilai US$ 14,07 juta. Nah, tahun ini, pengajuan impor udang dari luar empat negara yang terkena larangan masih sepi. Tahun ini, baru ada satu perusahaan yang mengajukan impor udang dengan volume sebanyak 1.500 ton. "Asalkan impornya bukan dari negara-negara terkena EMS, tidak masalah impor dilakukan," ujar Artati. Pengusaha budidaya udang justru menilai, larangan impor udang ini berpotensi menumbuhkan produksi udang nasional. Selain itu, larangan ini bisa mencegah matinya udang secara mendadak. "Penutupan impor ada bagusnya juga, untuk memotivasi pengusaha domestik agar meningkatkan produksi," kata Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Wilayah Sulawesi, Hasanuddin Atjo. Untuk menggenjot produksi udang nasional, Atjo bilang solusinya adalah pengembangan budidaya udang skala besar seperti pengembangan budidaya udang dengan teknologi supra intensif.
Budidaya udang supra intensif mampu menghasilkan 150 ton udang per hektare (ha). Dengan asumsi panen dua kali setahun, produksi udang supra intensif bisa mencapai 300 ton per ha. Atjo bilang, jika budidaya supra intensif bisa dikembangkan sekitar 3.000 ha, hasilnya hampir mencapai satu juta ton udang. "Hasil tersebut cukup untuk memenuhi kapasitas unit pengolahan ikan kita yang sekitar 600.000 ton," imbuh Atjo. Tahun ini, kata Atjo budidaya supra intensif sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Atjo memperkirakan, saat ini setidaknya ada 250 ha lahan tambak yang dikembangkan dengan teknologi supra intensif. Dari lahan ini, artinya ada tambahan produksi udang sekitar 75.000 ton tahun ini. Pengembangan budidaya skala besar butuhkan peran dan dorongan dari pemerintah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan