JAKARTA. Satu per satu perusahaan importir film di Indonesia menjalankan importasi seperti sediakala. Alhasil, pasokan film asal luar negeri mulai berjalan lancar. Seiring dengan masuknya film asing tersebut, pengusaha bioskop berharap penjualan saat ini bisa menutup kerugian selama keran impor ditutup pada Februari hingga Agustus lalu. Catatan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menunjukkan saat ini ada 16 importir beroperasi. Mereka di antaranya PT Omega Film, PT Parkit Film, PT Jive Entertainment, PT Teguh Bhakti Mandiri, dan lainnya. Importir tersebut memasok film dari Motion Picture Association of Amerika (MPAA), film independen, film Mandarin, film Asia non-Mandarin, dan lainnya.Menurut Djonny Syafruddin, Ketua GPBSI, dua hingga tiga bulan terakhir importir menyuplai film sesuai aturan terbaru. Seperti diketahui, Peraturan Menteri Keuangan No. 90 tahun 2011 tentang Bea Masuk (BM) Film mewajibkan importir membayar BM Rp 21.450 per menit. Di samping itu, importir juga wajib membayar royalti yang diatur dalam PMK No. 102/2011 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan PPn Berupa Uang yang sebesar Rp 12 juta per duplikat film impor. Menurut Djonny, "Peraturan itu diterima sekalipun hitung-hitungannya sedikit berisiko," tuturnya kepada KONTAN, Senin (7/11).Taruh kata satu judul diduplikat 40 kali, maka royalti yang harus disetor oleh satu judul film tersebut mencapai Rp 480 juta. Djonny menilai royalti ini terlalu mahal. Padahal, belum tentu satu judul film meraih penonton banyak atau bertahan lama di bioskop. "Kalau kopi banyak tapi penonton sedikit kan rugi. Tapi ini lebih diterima ketimbang pajak 10% dari royalti per judul," papar Djonny.Tony Arief, Spesialis Promosi dan Pemasaran PT Omega Film memastikan, pihaknya mengimportasi film MPAA sesuai peraturan berlaku. Bahkan, menurut Tony, Omega yang terafiliasi dengan PT Nusantara Sejahtera Raya (Grup 21 Cineplex) ini lebih duluan mengikuti aturan ketimbang importir lain.Selain Omega, Nusantara Sejahtera pun berencana melahirkan lima anak usaha importir film lagi. Tujuannya ialah agar perusahaan importir baru ini bisa memenuhi kebutuhan film impor di luar MPAA. "Perusahaan importir film bisa didirikan siapa saja atas dasar keperluan dan kebutuhan," kata Tri Rudi Anitio, Direktur 21 Cineplex.Anitio juga memastikan, 21 Cineplex tak hanya memutar film dari importir yang terafiliasi dengan perusahaan, tapi juga dari importir lainnya. Sekadar catatan, Omega lahir awal tahun ini saat importir lain yang terafiliasi dengan 21 Cineplex diaudit oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah mengaudit tiga perusahan importir film Grup 21 Cineplex karena dinilai kurang membayar BM. Ketiga perusahaan itu ialah PT Satrya Esthetika Film, PT Internusa Camila Film, dan PT Amero Mitra Film. Menurut Anitio yang juga komisaris Camila, baik Satrya maupun Camila masih diproses di Pengadilan Pajak. "Tidak beroperasi," tutur Anitio.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Importir banyak, pasokan film impor lancar
JAKARTA. Satu per satu perusahaan importir film di Indonesia menjalankan importasi seperti sediakala. Alhasil, pasokan film asal luar negeri mulai berjalan lancar. Seiring dengan masuknya film asing tersebut, pengusaha bioskop berharap penjualan saat ini bisa menutup kerugian selama keran impor ditutup pada Februari hingga Agustus lalu. Catatan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menunjukkan saat ini ada 16 importir beroperasi. Mereka di antaranya PT Omega Film, PT Parkit Film, PT Jive Entertainment, PT Teguh Bhakti Mandiri, dan lainnya. Importir tersebut memasok film dari Motion Picture Association of Amerika (MPAA), film independen, film Mandarin, film Asia non-Mandarin, dan lainnya.Menurut Djonny Syafruddin, Ketua GPBSI, dua hingga tiga bulan terakhir importir menyuplai film sesuai aturan terbaru. Seperti diketahui, Peraturan Menteri Keuangan No. 90 tahun 2011 tentang Bea Masuk (BM) Film mewajibkan importir membayar BM Rp 21.450 per menit. Di samping itu, importir juga wajib membayar royalti yang diatur dalam PMK No. 102/2011 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan PPn Berupa Uang yang sebesar Rp 12 juta per duplikat film impor. Menurut Djonny, "Peraturan itu diterima sekalipun hitung-hitungannya sedikit berisiko," tuturnya kepada KONTAN, Senin (7/11).Taruh kata satu judul diduplikat 40 kali, maka royalti yang harus disetor oleh satu judul film tersebut mencapai Rp 480 juta. Djonny menilai royalti ini terlalu mahal. Padahal, belum tentu satu judul film meraih penonton banyak atau bertahan lama di bioskop. "Kalau kopi banyak tapi penonton sedikit kan rugi. Tapi ini lebih diterima ketimbang pajak 10% dari royalti per judul," papar Djonny.Tony Arief, Spesialis Promosi dan Pemasaran PT Omega Film memastikan, pihaknya mengimportasi film MPAA sesuai peraturan berlaku. Bahkan, menurut Tony, Omega yang terafiliasi dengan PT Nusantara Sejahtera Raya (Grup 21 Cineplex) ini lebih duluan mengikuti aturan ketimbang importir lain.Selain Omega, Nusantara Sejahtera pun berencana melahirkan lima anak usaha importir film lagi. Tujuannya ialah agar perusahaan importir baru ini bisa memenuhi kebutuhan film impor di luar MPAA. "Perusahaan importir film bisa didirikan siapa saja atas dasar keperluan dan kebutuhan," kata Tri Rudi Anitio, Direktur 21 Cineplex.Anitio juga memastikan, 21 Cineplex tak hanya memutar film dari importir yang terafiliasi dengan perusahaan, tapi juga dari importir lainnya. Sekadar catatan, Omega lahir awal tahun ini saat importir lain yang terafiliasi dengan 21 Cineplex diaudit oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah mengaudit tiga perusahan importir film Grup 21 Cineplex karena dinilai kurang membayar BM. Ketiga perusahaan itu ialah PT Satrya Esthetika Film, PT Internusa Camila Film, dan PT Amero Mitra Film. Menurut Anitio yang juga komisaris Camila, baik Satrya maupun Camila masih diproses di Pengadilan Pajak. "Tidak beroperasi," tutur Anitio.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News