Importir menilai insentif pajak tak realistis



JAKARTA. Para importir mobil premium kompak berpendapat iming-iming insentif yang tertuang dalam beleid Kementerian Keuangan yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 64 tahun 2014 tak realistis. Dus, aturan ini tak akan berdampak apapun bagi industri mobil impor. Poin insentif pajak yang dijanjikan pemerintah ada di pasal 5. Ada tiga jenis insentif. Pertama, dasar pengenaan pajak sebesar 75% dari harga jual mobil apabila mobil dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) 1 liter bisa menempuh jarak 20 kilometer (km)-28 km. Kedua, dasar pengenaan pajak sebesar 50% dari harga jual jika per konsumsi 1 liter BBM bisa menempuh lebih dari 28 km. Ketiga, dasar pengenaan pajak 0% untuk mobil low cost green car (LCGC).

Adrian Tiradjaja, General Manager PT Lexus Indonesia mengatakan aturan ini tak realistis jika melihat kenyataan di lapangan. Dia mengambil contoh kondisi di Jakarta yang tidak memungkinkan mengonsumsi BBM dalam jumlah sedikit untuk menempuh jarak seperti yang ditetapkan dalam PMK. Artinya, kebijakan itu tidak akan berhasil menyasar mobil apa pun, juga tidak berdampak pada bisnis mobil impor. Adrian mengaku memiliki mobil hybrid, sebuah mobil ramah lingkungan. Meski dengan teknologi yang canggih, jarak tempuh per liter masih 20 km. Belum lagi kalau kondisi macet.  Rieva Muchsin, Chief Marketing Officer PT Garansindo Inter Global sama skeptisnya. "Nanti saya coba cari dan riset dulu, mobil mana yang bisa satu liternya bisa melaju 28 km," ujar Rieva satire.  Alhasil Rieva meyakini, iming-iming insentif tersebut tak akan bisa dinikmati. Pada akhirnya tak akan berdampak apa pun bagi industri mobil premium impor.
Para importir mengatakan, kalau pemerintah serius memberikan insentif, cara yang bisa dilakukan adalah dengan menurunkan jarak tempuh. "Paling tidak diturunkan menjadi 1 liter untuk menempuh 15 km-17 km," usul Adrian. Tommy R. Dwiandana, Ketua Umum Asosiasi Importir Kendaraan Bermotor Indonesia (AIKI), malah berpendapat, pemerintah perlu mengambil langkah lebih strategis. Kalau ingin mengurangi penggunaan BBM dan mendorong mobil ramah lingkungan, dia justru menantang pemerintah menghapus sama sekali subsidi BBM. Di sisi lain, Tommy mengatakan, bisa saja para importir mengubah orientasi dengan mendatangkan mobil LCGC. Dengan catatan mereka memperoleh perlakuan yang sama dengan para agen tunggal pemegang merek (ATPM). "Kami kena bea masuk impor 40% sedangkan ATPM hanya dikenai bea masuk 5%," protes Tommy. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anastasia Lilin Yuliantina