JAKARTA. Indonesia National Air Carriers Association (INACA) secara tegas menolak pemberlakuan kebijakan Asean Open Sky mulai 2015. Pasalnya, kebijakan liberalisasi penerbangan hanya akan menguntungkan negara dengan luas geografi yang kecil dan hanya memiliki satu bandara. Untuk kasus Asean, negara yang dimaksud adalah Singapura dan Brunei Darussalam; serta negara hub yang memiliki keuntungan geografis seperti Singapura dan Malaysia. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanudin di Jakarta, Kamis (18/11). "Sementara maskapai nasional dari negara besar yang memiliki beberapa kota tujuan utama seperti Indonesia, menilai kebijakan tersebut belum saatnya dilaksanakan. Karena perjanjian hubungan udara bilateral yang ada sekarang masih mencukupi dari sisi hak angkut, kapasitas dan frekuensi," kata Tengku. INACA meminta pemberlakuan Asean Open Sky menggunakan prinsip keadilan. Saat ini dengan pemerintah menetapkan lima bandara internasional di Jakarta, Bali, Surabaya, Makassar, dan Medan melayani open sky, sementara Singapura dan Malaysia hanya membuka satu bandaranya jelas tidak menguntungkan maskapai Indonesia."Dari sisi bisnis penerbangan, Asean Open Sky bisa dibilang tidak memberi keuntungan bagi maskapai Indonesia. Sebaliknya pasar domestik yang seharusnya dilindungi asas cabotage bisa dinikmati maskapai negara lain dengan mengkombinasikan hak angkut ke 3 dan ke 4. Secara eksplisit bisa dilihat Singapore Airlines dan Malaysia Airlines lah yang mengambil keuntungan," katanya.Hak angkut ke 3 adalah maskapai asing diberi hak menurunkan penumpang atau barang di negara mitra dari negara asal. Sementara hak angkut ke 4 adalah maskapai asing diberi hak menaikkan penumpang atau barang dari negara mitra ke negara asal."Karena itu sebaiknya Indonesia menerapkan kebijakan open sky terbatas seperti negara mitra lainnya, yaitu Singapura dan Malaysia. Tetapi boleh membuka open sky tidak terbatas kepada negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Rusia, Jepang, Australia, India dan China. Karena maskapai mereka memang benar-benar membawa turisnya ke Indonesia, dan dengan itu kita diuntungkan," tegas Tengku.Direktur Komersial PT Sriwijaya Air Toto Nursatyo mencontohkan, pemberlakuan kebijakan yang tidak setara dan merugikan maskapai nasional antara lain terkait penggunaan fasilitas bandara. Atau kesempatan maskapai nasional membuka anak usaha di negara lain."Katakanlah landing fee di Malaysia, dimana maskapai asing dikenakan RM 2.400. Sementara Malaysia Airlines hanya membayar RM 1.200. Lalu Lion Air kesulitan membuka anak usaha disana, sementara AirAsia Malaysia Berhad sudah memiliki Indonesia AirAsia yang beroperasi disini," tegasnya.Toto juga mendesak agar koterminalisasi yang dilakukan maskapai asing seharusnya tidak boleh diberlakukan. Misalnya Qatar Airways yang terbang ke Timur Tengah dari Indonesia mengutip tarif yang sangat rendah untuk penumpang yang turun di Singapura."Mereka bisa mengutip tarif yang rendah, karena mengobral kursi yang kosong. Sementara terbang ke Singapura itu merupakan bisnis utama maskapai nasional," kata Toto.Sementara itu, Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Edward Alexander Silooy mengaku tengah meminta masukan dari seluruh maskapai nasional dan INACA sehingga pemberlakuan Asean Open Sky tidak memberatkan atau merugikan maskapai Indonesia."Saat ini Indonesia memang sudah meratifikasi kerjasama Asean Open Sky, tetapi belum menandatangani secara detil kesepakatan hak angkut ke 3, 4 dan 5. Jadi masukan dari maskapai akan kami jadikan pertimbangan ketika menegosiasikannya tahun depan," pungkas Silooy.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
INACA tolak Asean Open Sky
JAKARTA. Indonesia National Air Carriers Association (INACA) secara tegas menolak pemberlakuan kebijakan Asean Open Sky mulai 2015. Pasalnya, kebijakan liberalisasi penerbangan hanya akan menguntungkan negara dengan luas geografi yang kecil dan hanya memiliki satu bandara. Untuk kasus Asean, negara yang dimaksud adalah Singapura dan Brunei Darussalam; serta negara hub yang memiliki keuntungan geografis seperti Singapura dan Malaysia. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanudin di Jakarta, Kamis (18/11). "Sementara maskapai nasional dari negara besar yang memiliki beberapa kota tujuan utama seperti Indonesia, menilai kebijakan tersebut belum saatnya dilaksanakan. Karena perjanjian hubungan udara bilateral yang ada sekarang masih mencukupi dari sisi hak angkut, kapasitas dan frekuensi," kata Tengku. INACA meminta pemberlakuan Asean Open Sky menggunakan prinsip keadilan. Saat ini dengan pemerintah menetapkan lima bandara internasional di Jakarta, Bali, Surabaya, Makassar, dan Medan melayani open sky, sementara Singapura dan Malaysia hanya membuka satu bandaranya jelas tidak menguntungkan maskapai Indonesia."Dari sisi bisnis penerbangan, Asean Open Sky bisa dibilang tidak memberi keuntungan bagi maskapai Indonesia. Sebaliknya pasar domestik yang seharusnya dilindungi asas cabotage bisa dinikmati maskapai negara lain dengan mengkombinasikan hak angkut ke 3 dan ke 4. Secara eksplisit bisa dilihat Singapore Airlines dan Malaysia Airlines lah yang mengambil keuntungan," katanya.Hak angkut ke 3 adalah maskapai asing diberi hak menurunkan penumpang atau barang di negara mitra dari negara asal. Sementara hak angkut ke 4 adalah maskapai asing diberi hak menaikkan penumpang atau barang dari negara mitra ke negara asal."Karena itu sebaiknya Indonesia menerapkan kebijakan open sky terbatas seperti negara mitra lainnya, yaitu Singapura dan Malaysia. Tetapi boleh membuka open sky tidak terbatas kepada negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Rusia, Jepang, Australia, India dan China. Karena maskapai mereka memang benar-benar membawa turisnya ke Indonesia, dan dengan itu kita diuntungkan," tegas Tengku.Direktur Komersial PT Sriwijaya Air Toto Nursatyo mencontohkan, pemberlakuan kebijakan yang tidak setara dan merugikan maskapai nasional antara lain terkait penggunaan fasilitas bandara. Atau kesempatan maskapai nasional membuka anak usaha di negara lain."Katakanlah landing fee di Malaysia, dimana maskapai asing dikenakan RM 2.400. Sementara Malaysia Airlines hanya membayar RM 1.200. Lalu Lion Air kesulitan membuka anak usaha disana, sementara AirAsia Malaysia Berhad sudah memiliki Indonesia AirAsia yang beroperasi disini," tegasnya.Toto juga mendesak agar koterminalisasi yang dilakukan maskapai asing seharusnya tidak boleh diberlakukan. Misalnya Qatar Airways yang terbang ke Timur Tengah dari Indonesia mengutip tarif yang sangat rendah untuk penumpang yang turun di Singapura."Mereka bisa mengutip tarif yang rendah, karena mengobral kursi yang kosong. Sementara terbang ke Singapura itu merupakan bisnis utama maskapai nasional," kata Toto.Sementara itu, Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Edward Alexander Silooy mengaku tengah meminta masukan dari seluruh maskapai nasional dan INACA sehingga pemberlakuan Asean Open Sky tidak memberatkan atau merugikan maskapai Indonesia."Saat ini Indonesia memang sudah meratifikasi kerjasama Asean Open Sky, tetapi belum menandatangani secara detil kesepakatan hak angkut ke 3, 4 dan 5. Jadi masukan dari maskapai akan kami jadikan pertimbangan ketika menegosiasikannya tahun depan," pungkas Silooy.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News