Inalum sukses terbitkan global bond US$ 4 miliar, Pengamat: Itu biasa, bukan prestasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk merealisasikan divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum telah berhasil mendapatkan pendanaan sebesar US$ 4 miliar melalui penerbitan melalui penerbitan obligasi global (global bond). 

Angka itu disebut-sebut sebagai obligasi terbesar dari sektor pertambangan di Indonesia, bahkan sampai oversubcribe alias mendapatkan minat yang tinggi dari para investor. Namun, menurut pengamat pertambangan Jannus T.H. Siahaan, hasil tersebut bukan lah sebuah prestasi bagi Inalum. Sebab, global bond ini merupakan bentuk lain dari utang yang harus dibayar. 

Selain itu, Jannus menilai, keberhasilan Inalum menerbitkan dan menjual laris global bond ini bukanlah keberhasilan Inalum sendiri, karena investor lebih tertarik untuk melirik prospek bisnis Freeport yang menjanjikan.


“Itu hal yang biasa saja. Jika bukan untuk pembiayaan divestasi 51% saham Freeport, mana mungkin global bond tersebut bisa laris. Prospek bisnis Freeport dan nama besar Freeport ketimbang Inalum," ungkap Jannus dalam siaran persnya, Jumat (16/11).

Menurut Jannus, Inalum tengah memainkan peran bebas sebagai holding BUMN tambang. Sebab, setelah ada aturan holding, berhutang bagi BUMN bukan lagi menjadi sebuah proses bisnis yang harus mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. 

Walau demikian, Jannus menekankan, Inalum tetap wajib memberikan penjelasan secara detail kepada publik mengenai proses divestasi ini, yang mana selama ini dinilai belum optimal. “Penjelasan Inalum kepada publik kurang detail. Publik hanya mengetahui bahwa pemerintah via Inalum berhasil mendivestasi 51 persen saham Freeport, tanpa ada penjelasan detail yang masif seperti apa prosesnya,” tutur Jannus.

Ia mencontohkan, proses divestasi yang diawali dengan right issue 40% saham Freeport, kemudian inbreng Hak Partisipasi Rio Tinto ke dalam saham, merupakan proses yang gagap dijelaskan kepada publik.

Menurut Jannus, semestinya Inalum membeli Hak Partisipasi Rio Tinto dulu sebelum Freeport right issue, sehingga harga yang harus dibayar akan jauh lebih murah. “Inalum justru menunggu Freeport untuk right issue dulu, Hak Partisipasi Rio Tinto diinbreng jadi saham dulu, kemudian baru ditransaksikan. Sehingga konversinya menjadi lebih mahal,” ungkapnya.

Jannus menyoroti bahwa proses semacam ini tak banyak dibuka ke publik, sehingga tak banyak yang melihatnya secara detail. Ia pun mengingatkan agar Inalum jangan terlalu berbesar hati, tapi mesti berhati-hati, karena sebagai BUMN, berhutang ke lembaga pembiayaan adalah aksi bermakna ganda. “Inalum harus lebih hati-hati,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .