Inaplas menolak cukai kemasan plastik



JAKARTA. Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAplas) menolak rencana pemerintah mengenakan cukai terhadap botol plastik kemasan air minuman.

Pasalnya, peraturan tersebut dinilai akan melemahkan industr makanan minuman, industri kemasan dan industri pendukungnya.

Fajar AD Budiyono, Sekretaris Jenderal INAplas, mengatakan, rencana pemerintah mengenakan cukai terhadap botol plastik kemasan air minum sangat merugikan pelaku industri dalam negeri, khususnya industri makanan dan minuman maupun kemasan. 


"Hal tersebut sangat kontraproduktif terhadap usaha pemerintah untuk mendukung pertumbuhan industri manufaktur dan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional," kata Fajar dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Senin (18/4).

Fajar menilai, pemerintah sebaiknya mencari objek lain untuk penerimaan negara. Pengenaan cukai bagi produk botol plastik kemasan air minum juga merugikan konsumen.

“Akar permasalahan plastik bekas pakai, bukan pada material plastik tetapi pada manajemen pengelolaan sampah yang belum berjalan dengan baik. Dengan demikian rencana kebijakan pemerintah untuk mengenakan cukai terhadap kemasan plastik tidak tepat dan akan membebani masyarakat,” papar Fajar.

Pemerintah, lanjut Fajar, sebaiknya lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dampak dari pengenaan cukai akan terasa pada sektor industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

“Industri Air minum dalam kemasan ada dan tumbuh karena air adalah kebutuhan dasar yang dikemas dengan praktis, sehat dan murah. Industri AMDK ini berkembang pesat dikarenakan pemerintah belum mampu menyediakan air bersih yang siap minum,” imbuhnya.

Sedangkan pada sektor industri makanan, masih memerlukan kemasan yang spesifik, murah dan tahan lama karena karakteristik negara kepulauan Indonesia, yang belum punya sistem distribusi yang efisien.

“Kemasan plastik dibutuhkan karena ringan dan ekonomis serta sifat oxygen dan gas barier yang bagus, membuat produk makanan dan minuman bisa disimpan dalam jangka panjang sehingga bisa dinikmati seluruh penduduk Indonesia dalam kondisi yang baik dan layak konsumsi,” tutur Fajar.

Fajar menambahkan, konsumsi plastik di Indonesia saat ini masih rendah sehingga plastik bekas pakai dapat didaur ulang menjadi produk sejenis atau produk lain untuk kebutuhan dalam negeri. Plastik bekas pakai juga dapat diubah menjadi energi listrik dan BBM.

Menurut Fajar, hingga saat ini belum ada material lain pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan dari segi penggunaan energi, emisi carbon, pengangkutan, penghematan sumber daya alam dan keragaman pemakaian.

Dalam Undang-undang Cukai ditetapkan bahwa yang dikenakan cukai adalah barang-barang yang dinilai perlu dikendalikan penyebarannya karena sebab-sebab tertentu yang dapat merugikan masyarakat, seperti rokok, alkohol, dan barang mewah.

Seluruh barang tersebut perlu dikendalikan peredarannya karena alasan melindungi kesehatan dan mencegah kesenjangan sosial. Berbeda dengan plastik yang setelah dipakai masih dapat didaur ulang dan dipakai kembali.

Fajar mengkhawatirkan kebijakan cukai tersebut malah akan meningkatkan impor makanan dan minuman dari luar negeri, karena industri lokal kalah bersaing dengan produk luar.

"Makanan dan minuman berkemasan plastik impor akan membanjiri pasar domestik. Mereka tidak kena cukai tapi memberikan sampah plastik ke Indonesia," tandas Fajar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan