INCO akan pakai modal kerja untuk kerek produksi



JAKARTA. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengalokasikan dana senilai US$ 150 juta untuk belanja modal atau capital expenditure (capex) pada tahun ini. Seluruh kebutuhan pendanaan akan ditutupi dari kas internal perseroan.

"Kami akan menggunakan dana itu untuk kebutuhan feasibility studies sejumlah proyek dalam upaya meningkatkan produksi nikel," ujar Direktur Keuangan INCO, Fabio Bechara di Jakarta, Jumat (17/2).

Manajemen INCO menargetkan studi kelayakan alias feasibility studies itu bisa rampung di akhir tahun ini atau paling telat pada semester pertama tahun depan. Seperti diketahui, perseroan berencana membangun pabrik pengolahan nikel di Sorowako dan pabrik pemurnian bijih nikel Bahodopi di Sulawesi Tengah.


INCO pun berencana meningkatkan kapasitas daya tungku peleburan bijih nikel berkapasitas 90 megawatt (MW). Saat ini perusahaan tambang mineral itu telah memiliki empat tungku peleburan, masing-masing dua tungku berkapasitas 75 MW dan 90 MW.

Tidak hanya itu, perseroan tengah melanjutkan lagi pembangunan tanur listrik nomor 2 yang sudah dimulai pada November tahun lalu. Pembangunan kembali fasilitas tersebut berpotensi mengerek kapasitas produksi nikel dalam matte. Dengan sejumlah ekspansi itu, perseroan mengharapkan rata-rata kapasitas produksi nikel meningkat menjadi 120.000 ton per tahun pada 2016 mendatang.

Mengerek produksi

Saat ini, kapasitas produksi nikel INCO baru mencapai 73.000 ton per tahun. Adapun total nilai investasi untuk pengembangan kapasitas produksi itu mencapai US$ 2 miliar. Namun, INCO akan menggunakan dana itu secara bertahap. Sebagian pendanaan untuk program ini akan diperoleh melalui pinjaman perbankan.

Pengelola INCO memproyeksikan pada tahun ini bisa memproduksi nikel sebanyak 72.000 ton. Jumlah tersebut meningkat 7,62% dibandingkan realisasi produksi sepanjang tahun lalu yang sebanyak 66.900 ton.

Volume penjualan nikel pada tahun ini diharapkan setara dengan produksi. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu INCO mencatatkan volume penjualan nikel sebanyak 66.815 ton.

Emiten yang sebelumnya bernama PT International Nickel Indonesia Tbk ini juga memperkirakan harga jual nikel di tahun ini cenderung meningkat. Fabio mengestimasi rata-rata harga jual nikel sepanjang tahun ini senilai US$ 21.000 per ton. Proyeksi harga ini meningkat 16,67% dibandingkan harga rata-rata nikel tahun lalu senilai US$ 18.000 per ton.

Manajemen INCO mengaku belum bisa memproyeksikan target pendapatan dan laba bersih selama 2012.

Di 2011, INCO hanya mencetak penjualan US$ 1,24 miliar, turun 3% daripada penjualan 2010 senilai US$ 1,28 miliar. Laba bersih INCO di tahun lalu juga anjlok 24% menjadi US$ 333 juta. Satu pemicu penurunan kinerja adalah tak berfungsinya salah satu tanur listrik INCO sehingga menghambat produksi.

Kepala Riset Indosurya Asset Management, Reza Priyambada, berpendapat penggunaan capex untuk peningkatan produksi mencerminkan permintaan nikel INCO cukup tinggi. Dus, hal tersebut berdampak positif bagi kinerja perseroan. Kas INCO juga sanggup menutupi capex. Per akhir Desember 2011, kas dan setara kas INCO mencapai US$ 399 juta.

Reza menebak, harga saham INCO hingga 2012 bisa ke Rp 4.100 per saham. Dengan catatan, "Tidak ada lagi tanur listrik yang tak berfungsi," jelas dia. Harga INCO kemarin tak berubah dari posisi Rp 3.525 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.